Senin, 25 Juli 2016

Cara Keledai Membaca Buku


Alkisah, Timur Lenk menghadiahi Nasrudin seekor keledai. Nasrudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk memberi syarat, Ajari terlebih dahulu keledai itu membaca. Dua minggu setelah sekarang, datanglah kembali kemari, dan kita lihat apa yang akan terjadi.

Nasrudin berlalu, sambil menuntun keledai itu ia memikirkan apa yang akan diperbuat. Jika dapat mengajari keledai itu membaca, tentu ia akan menerima hadiah, namun jika tidak, hukuman pasti akan ditimpakan kepadanya.

Dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar agar Nasrudin segera mempraktekkan apa yang telah ia lakukan. Nasrudin lalu menggiring keledainya menghadap ke arah buku tersebut, dan membuka sampulnya.

Si keledai menatap buku itu. Dan ajaib!! Tak lama kemudian Si Keledai mulai membuka-buka buku itu dengan lidahnya. Terus menerus, lembar demi lembar hingga halaman terakhir. Setelah itu, si keledai menatap Nasrudin seolah berkata ia telah membaca seluruh isi bukunya. Demikianlah, kata Nasrudin, Keledaiku sudah membaca semua lembar bukunya. Timur Lenk merasa ada yang tidak beres dan mulai menginterogasi, Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?

Nasrudin berkisah,Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halaman untuk bisa makan biji-biji itu, kalu tidak ditemukan biji gandumnya ia harus membalik halaman berikutnya. Dan itu ia lakukan terus sampai ia terlatih membalik-balik halaman buku itu.

Tapi, bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ? tukas Timur Lenk.
Nasrudin menjawab, Memang demikianlah cara keledai membaca; hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Jadi kalau kita juga membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, berarti kita sebodoh keledai, bukan?kata Nashrudin dengan mimik serius. hehehe.

Puisi Ibu

Oleh Chairil Anwar

Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai
Ibu . . . . .
Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah
Ibu . . . . .
Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
dan bila aku mencapai kejayan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan
Namun . . . . .
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu….
Ibu . . . . .
Aku sayang padamu….
Tuhanku….
Aku bermohon padaMu
Sejahterahkanlah dia
Selamanya…..

Wajah Untuk Nayla

Oleh Melia Herlina
            Aku  melihat dirinya setiap hari di pojok ruangan itu. Duduk di kursi kayu tua yang menghadap ke jendela kamarnya. Ia  tampak sedih dan raut wajahnya penuh dengan kekecewaan. Mimiknya seakan berkata bahwa ia ingin tidak dilahirkan. Aku bisa memahami perasaannya. Aku bisa merasakan betapa menderitanya dia sejak kejadian itu. Ya, kejadian sembilan tahun lalu,  meninggalkan begitu banyak luka di raga dan jiwanya: Nayla!
*
            Masih menggores jelas di kepalaku memori yang berbekas itu. Memori itu membawa tubuhku kembali ke kejadian sembilan tahun lalu di mana aku dan keluargaku berada di dalam mobil hitam. Malam itu, suamiku yang memegang kendali mobil dan kami merasa sangat bahagia karena bisa menghabiskan waktu bersama-sama di Kebun Raya Cibodas hari itu. Ketika kami hendak pulang menuju rumah kami ketika tiba-tiba ada sebuah truk dari belakang yang menabrak mobil kami. Truk besar yang mengangkut bahan bakar minyak itu tanpa ampun menghantam mobil kecil kami hingga terpental sejauh lima meter dalam kondisi terbakar. Aku merasa beruntung karena dapat keluar dari dalam mobil saat tragedi itu menimpa kami.
Beberapa detik sebelum kejadian itu terjadi, aku sudah terlebih dahulu melepas sabuk pengaman yang mengikatku. Tetapi hal itu tidak terjadi pada suami dan anakku. Mereka terjebak di dalam mobil karena mobil tersebut dalam keadaan terbalik. Entah kenapa di saat yang genting itu aku memilih menyelamatkan putri kecilku, yang kebetulan tidak memakai sabuk pengaman sehingga aku bisa menariknya keluar dari mobil dengan mudah. Sayangnya suamiku tak bisa kuselamatkan karena si jago merah sudah melahap tubuhnya sampai habis.
Hatiku begitu sakit menerima kenyataan bahwa orang yang selama sepuluh tahun telah menemaniku harus pergi meninggalkanku. Aku tidak terima dengan kepergiaannya yang begitu tragis. Beliau tak pantas pulang dengan cara seperti itu. Aku pun tak bisa menyalahkan diriku karena aku harus memilih siapa yang harus aku selamatkan. Tidak mungkin aku bisa menyelamatkan mereka berdua sekaligus. Tapi hatiku cukup terhibur karena putri semata wayangku selamat, walaupun dalam keadaan yang mengenaskan. Tubuh mungilnya hitam gosong, rambutnya rontok, kulitnya terkelupas hampir seluruhnya, dan yang paling membuatku sedih adalah dia tak bisa melihat. Iya, sejak peristiwa itu putri kecilku ini menjadi buta. Aku tak tahu apa dia bisa menerima dirinya ketika tahu bahwa ia sekarang buta. Dan sekarang aku sudah tahu jawabannya.
“Kita sarapan yuk Nay,” ajakku pagi itu. “Ibu masak nasi goreng kesukaanmu lho.”
Nayla mendongakkan kepalanya ke arahku kemudian berdiri dari kursinya. Aku menggandeng tangannya menuju ruang makan. Nayla duduk kemudian makan dalam diam.
“Nay, tiga bulan lagi kamu akan berumur tujuh belas tahun. Bagi anak gadis, umur tujuh belas tahun adalah momen yang istimewa, yang perlu dirayakan. Apa kamu mau ulang tahunmu dirayakan?” tanyaku memecah keheningan.
Nayla hanya menggeleng kemudian melanjutkan makannya kembali.
Aku menghela napas kemudian bertanya lagi. “Kalau begitu apa ada sesuatu yang kamu inginkan?”
Tiba-tiba Nayla berhenti mengunyah. “Ibu sungguh ingin memberikan apa yang aku minta?”
Aku tersenyum mendengar tanggapannya. “Tentu sayang. Apapun yang kamu minta, Ibu akan menyanggupinya.”
Gadis berambut ikal itu tersenyum lebar. “Aku ingin melihat wajahku di usiaku yang ketujuh belas ini.”
Jawaban singkat itu membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Aku sungguh terkejut mendengar permintaannya. ‘Apa?? Ia ingin melihat wajahnya? Tapi bagaimana bisa? Bagaimana mungkin? Ia tidak dapat melihat. Sekalipun bisa melihat, wajahnya sudah tidak utuh lagi. Bagaimana aku bisa memenuhi permintaannya?’
“Ibu, kenapa Ibu diam saja?” Nayla memecah lamunanku. “Ibu mau kan memenuhi permintaanku?”
“I..iya Nay. Ibu akan memenuhi permintaanmu. Ibu akan menyanggupinya.”
Tiba-tiba Nayla memeluk tubuhku. Sekali lagi aku dibuatnya terkejut. Selama Sembilan tahun ini, Nayla tidak pernah memelukku. Aku bisa merasakan kebahagiaan dan kehangatan dalam pelukannya itu. Dirinya seakan menemukan secercah harapan. Mungkin hanya permintaan inilah yang sanggup mengembalikan semangat hidupnya.
*
            Sudah seminggu ini aku tidak bisa tidur. Kepalaku terus dibayangi oleh pertanyaan bagaimana mewujudkan permintaan Nayla. Aku sangat ingin mewujudkan permintaan lugunya itu. Selama ini gadisku itu tidak pernah meminta apapun dariku. Permintaannya ini harus aku penuhi tapi bagaimana?
“Dokter, apa tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan kedua mata putri saya?” tanyaku sore itu di sebuah rumah sakit.
“Maaf Bu Rissa, tetapi kebutaan anak Ibu itu permanen dan tidak bisa disembuhkan.” Sang Dokter menjawab dengan tegas.
Aku menghela napas. Tidak bisa ku ungkapkan perasaanku saat itu. Sedih, bingung, kecewa, marah, semua bercampur aduk. Aku begitu putus asa saat ini. ‘Nak, apa yang harus Ibu lakukan untuk mewujudkan permintaanmu?’
*
            Tidak terasa dua minggu telah lewat. Ulang tahun Nayla terasa semakin dekat. Aku masih berkutik dengan pikiranku sendiri. Keningku terasa hangat. Sepertinya otakku sudah terlalu lelah untuk memikirkan permintaan Nayla.
Siang itu, kota Makassar terasa begitu panas. Matahari memancarkan sinarnya terasa menyengat. Para pejalan kaki melindungi kepala mereka dengan payung. Peluh menetes dengan bebas di dahiku. Aku menyusuri pertokoan di sepanjang jalan. Melewati para pedagang yang duduk di pinggir jalan. Ku tengokkan kepalaku ke kiri dan ke kanan. Mencari inspirasi untuk memenuhi keinginan Nayla.
Tanpa sengaja pandanganku tertuju pada suatu tulisan bewarna kuning cerah, tulisannya “Pelukis Jalanan, terima melukis semua wajah.” Tiba-tiba ada lampu bohlam yang seakan-akan menyala di atas kepalaku.‘Ah, ide yang bagus! Aku minta pelukis jalanan ini saja untuk melukis wajah Nayla.’ gumamku dalam hati.
Ketika aku hendak menghampiri sang pelukis, tiba-tiba aku terpikir sesuatu. ‘Tunggu dulu. Bagaimana aku dapat meminta pelukis ini untuk melukis wajah Nayla kalau wajahnya saja sudah tidak utuh lagi? Mukanya nyaris tak berbentuk, tidak seperti muka manusia pada umumnya.’
Tanpa diperintah, lampu bohlam yang tadinya bersinar terang di atas kepalaku sekarang menjadi padam.‘Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?’
*
            Di rumah aku mencari album foto Nayla. ‘Muka Nayla pasti tak jauh berbeda dengan fotonya ketika masih kecil.’ Aku membongkar tumpukan buku di lemari kaca, mencari album foto yang sudah lama tak ku sentuh. Foto terakhir yang ku simpan adalah ketika Nayla berusia delapan tahun; delapan tahun sebelum kejadian mengerikan itu. Ia mengenakan dress biru muda sambil memeluk boneka jerapahnya. Di foto itu ia terlihat manis sekali. Sejak peristiwa itu aku tidak pernah melihatnya tersenyum. ‘Nay, kamu cantik sekali di foto ini. Ibu rindu senyum manismu, Nay.’ gumamku sedih.
*
            Hari ini aku berencana untuk datang ke tempat pelukis jalanan yang kulalui kemarin tetapi kemudian kuurungkan niatku itu. Aku baru menyadari bahwa aku tidak memikirkan kalau sebuah lukisan tidak dapat diraba dengan tangan. ‘Bagaimana Nayla bisa tahu bentuk wajahnya seperti apa? Bagaimana ia tahu hidungnya mancung atau tidak atau alisnya tebal atau tidak jika hanya melalui sebuah lukisan di atas kanvas? Aku merasa begitu bodoh. Kenapa aku tidak memikirkannya secara matang? Karena lelah aku memutuskan untuk tidak pergi kemana-mana dan menonton televisi.
Aku berulang kali menekan remote televisi, mencari acara yang menarik untuk dilihat. Seketika ibu jariku berhenti di salah satu saluran televisi yang menayangkan gambar wajah seseorang. Wajah tersebut terbuat dari sebuah patung lilin. Baru kali ini aku mendengar dan melihat tentang patung lilin. Ternyata tidak hanya wajah saja, tetapi tubuh seseorang secara keseluruhan dapat dibentuk menjadi sebuah patung lilin yang sangat cantik dan yang begitu menyerupai aslinya.
Kemudian kumelihat sang pembuat patung lilin diwawancarai oleh si pembawa acara. Di saat itulah aku terperanjat. “Lho?? Bukannya itu Vano?” aku berbicara pada diriku sendiri. Aku memincingkan kedua mataku untuk melihat lebih jelas lagi dan saat itulah aku melihat dengan jelas sebuah nama yang tertera di kolom bawah. Nama “Silvano Sebastian” tepampang dengan jelas di layar televisiku. “Ya ampun! Ternyata itu beneran Vano.” Aku berteriak tidak percaya. Aku mendengarkan dengan saksama talk show tersebut dan ternyata galeri seni miliknya terletak tak jauh dari tempat tinggalku. “Waahh, ini kebetulan sekali.” ujarku senang. Aku segera mencatat alamat galeri seni yang terpampang di layar televisi. “Besok aku harus ke sana.”
*****
            “Ya Tuhan, Rissa!” terisak Vano histeris. “Bagaimana kabarmu? Sudah hampir tiga puluh lima tahun kita tidak bertemu. Dari mana kamu tahu aku disini?”
“Hahaha. Vano, Vano. Kamu kan sekarang sudah menjadi orang yang terkenal,” jawabku santai. “Kemarin wajahmu muncul di televisi, bukan?”
“Hahaha. Oh, rupanya kamu melihat acara talkshow itu. Tidak heran ya kamu bisa ada di sini.”
Kami bercengkerama cukup lama; tertawa lepas sambil bernostalgia ria. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kenangan sewaktu SD, teman-teman SD kami yang ingin kami temui, guru-guru yang dulu mengajar kami sampai pelajaran yang kami tidak sukai waktu itu. Setelah puas mengobrol dengannya, aku langsung mengutarakan maksud kedatanganku kepadanya.
“Van,” panggilku pelan. “Aku ingin meminta bantuanmu.”
“Minta bantuan apa, Ris?” balasnya sambil tersenyum. “Selama aku bisa bantu, aku akan bantu.”
Aku menarik napas dalam-dalam kemudian balik lagi ke peristiwa sembilan tahun lalu yang kelam. Aku menceritakan semuanya begitu rinci. Vano mendengarkan ucapanku dengan mimik yang serius. Seriap kata yang keluar dari mulutku ditanggapinya dalam diam. Setelah berbicara panjang lebar aku baru bisa menyampaikan keinginan Nayla dan meminta pendapatnya.
Vano masih terdiam. Ia terlihat berpikir keras. Tetapi tidak lama kemudian ia membuka mulutnya. “Apa wajah Nayla mirip denganmu?” tanyanya hati-hati.
“Mirip, sangat mirip.” Jawabku tegas. “Sebelum ia buta, hampir setiap orang yang bertemu dengan kami mengatakan seperti itu. Dari mulai mata, hidung, rambut hingga warna kulit, semuanya meyerupaiku. Aku sampai heran kenapa ia tidak mengambil rupa ayahnya.”
Seketika Vano menyunggingkan senyum yang tidak biasa. “Sempurna! Berarti sekarang yang dibutuhkan hanyalah foto dirimu ketika berusia tujuh belas tahun.” Ia berhenti berbicara sejenak. “Apa kamu masih menyimpan foto ketika kamu berusia tujuh belas tahun?”
Aku berpikir sejenak kemudian aku menjentikkan jariku. “Tentu saja! Waktu itu aku merayakan ulang tahunku yang ketujuh belas dan aku sempat berfoto. Sepertinya ada di album fotoku.”
“Kau harus pastikan foto itu masih tersimpan, Rissa. Karena foto itu akan sangat dibutuhkan untuk membuat patung lilin Nayla.” Vano menasehatiku. “Kembali lagi kesini jika kau sudah mendapatkannya.”
*
            Ketika sampai di rumah, aku langsung menuju ruang tamu dan membuka kembali lemari kaca tersebut. Kuambil semua tumpukkan album foto yang menggunung itu dan membukanya satu per satu, meneliti setiap foto yang tertempel rapi di setiap halamannya. Setelah melewati delapan album foto, akhirnya aku menemukannya. Ya, foto yang sudah menguning itu menunjukkan usianya yang sudah tidak muda lagi. Aku memperhatikan diriku dua puluh delapan tahun yang lalu ketika aku masih berusia tujuh belas tahun. Aku yang masih terlihat segar dan muda dibalut oleh gaun putih sederhana. Sungguh, Nayla begitu mirip denganku.
*
            “Berapa lama patung lilin ini akan selesai?” tanyaku ingin tahu.
“Kalau boleh tahu, ulang tahun Nayla jatuh pada tanggal berapa?” Vano bertanya balik.
“Dua puluh satu september. Jika dihitung berarti dua bulan lagi dari sekarang.”
“Baiklah, aku pastikan kurang dari dua bulan kau sudah dapat melihatnya.”
Aku meraih tangan Vano dengan perasaan gembira. “Terima kasih, Vano.”
*
            Sejak pulang dari galeri seni Vano, hatiku tak pernah murung lagi. Jantungku serasa menari dan hatiku seakan menyanyi. Kepalaku seperti dipenuhi bunga-bunga mawar yang bermekaran. Aku bahagia sekali membayangkan reaksi Nayla nanti ketika melihat patung lilin pemberianku; melihat sebuah wajah yang selama ini ia nantikan. “Sabar ya Nay, tidak lama lagi kau akan melihatnya.”
*
            “Tilililit…tilililit…” suara itu sudah puluhan kali berbunyi. Memekakkan gendang telingaku. Membangunkanku dari tidur lelapku. ‘Siapa sih yang menelpon subuh begini?’ Dengan terpaksa kusibakkan selimutku dan ku pakai sandalku. Dengan langkah gontai ku melangkah menuju meja telepon.
“Halo?” ku mengangkat telepon dengan malas.
“Rissa?” tanpa basa-basi si penelpon langsung memanggil namaku.
“Vano??” teriakku kaget. “Kamu kenapa menelpon subuh begini?” kumelirik jam dinding untuk memastikan bahwa ucapanku benar. “Ini masih jam tiga pagi,Van.
“Jam tiga pagi?” Vano menjawab seakan tidak percaya dengan ucapanku.
Aku menghela napas kesal.
“Aduh, maaf banget ya Ris.” Jawabnya terkekeh. “Aku begitu bersemangat untuk memberitahumu bahwa patung lilin Nayla sudah selesai, lebih tepatnya baru selesai.”
Aku melonjak kaget. “Benarkah?”
“Iya, sungguh.” Ia meyakinkanku.
“Aku kesana sekarang.”
*
            Aku terpaku melihat patung lilin Nayla dihadapanku. Patung yang berdiri kokoh membelakangi jendela itu begitu mirip dengan fotoku. Bahkan jika diperhatikan, lebih mirip dengan wajah Nayla. Bisa dibilang bahwa patung tersebut merupakan perpaduan yang sempurna antara wajahku ketika berusia tujuh belas tahun dan wajah Nayla ketika berusia delapan tahun. Yang membuat aku lebih takjub lagi adalah tinggi patung lilin itu sama dengan tinggi badan Nayla. Tanpa berkata-kata lagi, aku langsung meraih tubuh Vano dan memeluknya. Ia terlihat terkejut dan sempat mundur ketika berada dalam dekapanku. Tetapi kemudian ia membalas pelukanku dan tersenyum.
“Vano, kau hebat sekali! Kau luar biasa! Lihat patung lilin buatanmu itu. Oh, wajahnya begitu mirip dengan Nayla.” Aku memuji-muji Vano tanpa henti.
Vano tertawa terbahak-bahak. “Patung ini tidak akan seperti ini tanpa foto dari kamu, Rissa.”
“Tak terasa lima hari lagi Nayla berusia tujuh belas tahun. Waktu berlalu begitu cepat.” ujarku sambil merenung. “Aku sudah tidak sabar untuk membawa Nayla kesini.”
*
            Akhirnya hari yang kutunggu tiba juga. Hari di mana Naylaku akan menjadi sosok yang paling bahagia di dunia ini. Aku menuntunnya masuk ke dalam mobil putih kami kemudian aku membawa mobil itu menuju jalan raya.
“Ibu,” panggil Nayla pelan. “Ibu mau membawa Nayla ke mana?”
“Ke suatu tempat yang sangat penting, Nayla.” jawabku antusias. “Ibu punya sesuatu yang ingin Ibu tunjukkan kepadamu.”
Nayla tersenyum. “Apakah aku akan melihat wajahku?”
“Tentu saja,” jawabku singkat. “Bahkan lebih dari itu.”
Kami menyusuri jalan raya yang luas, melewati pohon-pohon yang tertanam di sepanjang pinggil jalan. Hari itu aku begitu bersemangat. Tidak pernah aku merasa bersemangat seperti ini. Tetapi hari ini beda. Hari ini adalah hari ulang tahun Nayla yang ketujuh belas, hari yang sangat istimewa baginya. Tidak terasa mobil yang kami tumpangi sampai juga ke tempat tujuan. Vano rupanya sudah menanti kedatangan kami.
“Hai Ris, hai Nay.” sapanya ramah.
“Hai Van,” balasku. “Nay, kenalin. Ini teman Ibu. Namanya Om Vano.”
“Hai Om Vano,” sapa Nayla sambil tersenyum.
“Yuk kita masuk.” Ajak Vano.
Kami bertiga masuk ke dalam galeri seni Vano. Lalu masuk ke  satu ruangan  terbuka.
“Nay, apa kamu siap untuk melihat wajahmu?” tanyaku bersemangat.
Nayla mendongakkan kepalanya kemudian menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Aku memberikan tanda kepada Vano lalu ia mengangkat tirai merah yang menutupi patung lilin tersebut. Lalu aku menuntun Nayla untuk mendekati patung tersebut.
“Nay, selamat ulang tahun ya. Ibu berharap di ulang tahunmu yang ketujuh belas ini kamu bisa menjadi anak yang bahagia.” aku berbicara padanya sambil menangis.
Ia menggandeng tanganku kemudian meraba-raba patung lilin tersebut. Alisnya yang tinggal beberapa helai dinaikkan sedikit dan bibirnya yang bewarna senada dengan kulitnya menyunggingkan senyum.
“Ibu, ternyata selama ini wajahku oval dan daguku lancip. Aku memiliki hidung yang mancung. Oh, dan mataku belo dan dalam, rambutku ikal dan panjang. Oh, Ibu ternyata ada badannya juga?” Nayla terlihat seperti anak kecil yang menemukan hal baru. “Wah, tubuhku ramping dan tanganku kecil sekali ya bu?” Nayla terus berkomentar tanpa henti sambil menjalari seluruh organ patung itu.
Aku terenyuh melihat reaksinya. Tanpa kusadari air mata membasahi pipiku. “Kau menyukainya, Nay?”
Nayla memutar badannya kemudian memeluk tubuhku erat. “Tentu saja, Ibu. Aku sangat menyukainya. Ibu telah mewujudkan keinginanku. Akhirnya Aku bisa melihat wajahku, bahkan bisa melihat seluruh tubuhku. Terima kasih, Bu. Aku gembira sekali.”
Air mataku seketika pecah, berceceran. Aku tak dapat membendungnya lagi. Aku begitu terharu dan gembira melihat putri semata wayangku begitu bahagia. ‘Terima kasih Tuhan, akhirnya aku bisa menemukan kembali kebahagian di hati Nayla. Terima kasih bahwa Engkau bisa mempertemukanku dengan Vano. Dan yang paling penting, terima kasih karena Nayla bisa menemukan wajahnya.’  *

Melia Herlina, Siswa SMAK Ora et Labora Bumi Serpong Damai Tangerang. Gadis bertubuh jangkung ini tidak hanya menulis fiksi, tapi juga aktif menulis di Klub Jurnalistik Sastrawi binaan YPK Ora et Labora.

Sebuah Nama

Oleh: Andrika Permatasari
Cerpen Pemenang II LMCR Lip Ice Selsun Golden Award
OH, MON DIEU , hatiku masih berdebar-debar. Getaran ini kembali menggema setelah semuanya terlanjur. Getaran ini masih tetap sama seperti dulu. Sebelum aku bercengkrama dengan satu sosok dan memilihnya sebagai pasangan hidupku. Dan rasa ini tiba-tiba menyergapku. Tak hanya menyergapku malah. Bahkan rasa ini mulai singgah lagi di hatiku. Lagi dan lagi.
Ruang hatiku pun terbagi lagi. Inilah susahnya. Padahal selama dua tahun ini, aku membuka hatiku hanya untuk pasangan hidupku. Hanya dia tempatku berbagi. Aku dan dia saling melengkapi. Kami berbagi banyak cerita meskipun aku yang mendominasi topik perbincangan kami. Banyak cerita beda topik yang kami bagi bersama. Kehidupan sehari-hari, bisnis, ekonomi, politik konspirasi, sejarah, alam, spiritual, demo, kriminal sampai masalah-masalah yang menjurus terlalu wanita. Dia mengerti dan paham betul dengan apa yang ingin kutuangkan.
Ide brilian.
Semangat.
Satu yang kusuka dari pasangan hidupku ini, adalah semangatnya. Banyak nasehat yang ia rangkum dalam sebuah cerita. Brilian, dia bilang. Maka dari sebuah ide gila dariku dan sedikit bumbu asa yang terpendam, aku memuntahkan di depan pasangan hidupku itu. Jika sudah terlarut dalam pengembangan ide brilian, aku sering melupakannya. Oh, Cody… maafkanlah aku. Aku sudah mengkhianatimu. Dan sekarang, aku seribu kali lebih mengkhianatimu. Tiada lagi ide brilian yang kubagi denganmu sejak dua minggu yang lalu. Karena ada dia. Ada dia yang datang lagi.
Cinta itu datang lagi setelah lama meninggalkanku. Sialnya, dia adalah cinta yang sama dengan cintaku terdahulu. Tentunya, dengan orang yang sama. Laki-laki yang sama. Oh, aku bingung harus berbuat apa? Aku takut terlalu bahagia. Tapi aku juga takut terlalu sedih. Aku tak mau memilih keduanya. Dan semoga saja keputusanku benar adanya. Bahwa aku memilih dia. Bahwa aku meninggalkan Cody untuk dia. Hanya dia yang aku cinta. Cinta lama yang datang lagi.
Laki-laki itu masih sama seperti dulu. Dia masih saja mempesona dengan sex appeal-nya yang kuat. Aku hangat bersamanya. Ketika ia menggamit tanganku, aku merasakan getaran hati yang lebih kuat. Ketika ia mendekapku kuat-kuat dan hampir meremas tulang rusukku, aku sangat bahagia. Semuanya tak tampak klise lagi. Segalanya nyata. Aku harap tetap demikian sampai kapan pun.
Dia masih sering bercerita tentang kecintaannya terhadap Bimasakti. Entahlah, kenapa ia sangat mencintai galaksi tempat di mana matahari menjadi salah satu bintang terbesar di sana. Ada seratus milyar bintang di sana. Dan dia tak jemu menamai satu persatu bintang-bintang itu. Mungkin aneh bagi kebanyakan orang. Ya bayangkan saja, ada beribu-ribu juta bintang dan dia memberi nama satu persatu dengan sabar? Hahaha.. lucu sekali. Namun itulah yang selalu aku rindukan darinya. Obsesi gilanya selalu membuatku rindu.
Bersamaan dengan menamai sebuah bintang, ia akan berseru riang seperti anak kecil, “Oh lihatlah, bintang itu tersenyum. Sama seperti senyumanmu yang mempesona.” Aku jelas tertawa mendengarnya. Kenapa semua bintang memiliki senyuman yang mirip denganku? Ada-ada saja dia itu. Namun karena ia tekun mengada-ngada aku justru semakin menyayanginya.
“Manusia itu ibarat setitik debu,” katanya, mengutip sebuah buku yang baru saja ia baca.
Saat itu aku begitu takjub dan membenarkan perkataannya dengan mantap. Tapi hati manusia lebih dari setitik debu. Besarnya pasti lebih dari bintang, matahari atau galaksi Bimasakti yang kau cintai, timpalku dalam hati. Layaknya hatiku, hatinya, ataupun hatimu.
Cinta ini menafasiku, menghempaskanku, dan menghampiriku sekali lagi. Tidak! Beribu-ribu kali sampai aku jenuh, jengah, dan jemu. Sampai aku merasa bahwa kesempurnaan cinta tidaklah benar adanya. Huh! Bahkan sampai aku terkapar di rumah sakit karena hampir bunuh diri karena cinta. Yah, cinta. Cinta itu penyakit dan obat. Cinta berhak memilih di mana ia harus berperan di satu pilihan dengan konsekuen.
Akan tetapi aku berubah pikiran juga. Ketika ia datang, aku menyambutnya dengan bahagia. Kubentangkan kedua tanganku lebar-lebar, kupamerkan deretan gigiku yang putih dengan menyungging senyum pura-pura tiada beban, kulepas ketidakcintaanku, kuhilangkan luka ini… luka yang dia buat dan menjadikanku seorang yang tak dapat mencintai yang lain.
Aku tak tahu kenapa aku menginginkan ibanya itu. Angkuhnya dia memang menandingi gunung es tapi aku dapat dengan sangat rileks dan sabar menghadapinya. Aku bilang, mungkin sudah kodratnya demikian karena toh hukum alam tak selamanya abadi. Kini, hidupku lebih berwarna lagi. Aku tak lagi buta warna mengisi hari-hariku. Aku tak lagi se-peka dahulu yang sedikit banyak mengeluarkan emosi yang meletup-letup. Radar emosiku cepat meninjau otak dan pikiranku yang mulai berapi-api. Selanjutnya, ketenangan menstimulir jiwaku. Dan aku tak lagi seperti yang dulu. Aku yang sekarang lebih dewasa menyikapi suatu peranan kehidupan. Terlebih ketika kau hadir lagi untukku.
“Jadi apa yang kau lakukan, dua tahun terakhir ini? Lama sekali aku tak mendengar ocehanmu,” laki-laki berparas tampan dengan garis-garis wajah yang tegas dan aristokrat itu, lantas menatapku. Ia meneliti setiap inci mimik muka serius yang kuperlihatkan.
Usianya yang delapan tahun lebih tua dariku, membuatku merasa nyaman. Aku tak pernah risih berada didekatnya. Aku yang terbilang masih remaja dengan komposisi emosi yang labil dan seringkali menuai kontroversi, dapat ia handle dengan baik. Baginya, aku adalah aset penting dalam kehidupannya. Aku jauh lebih berharga dibanding aset-aset perusahaannya. Aku lebih dari segalanya.
“Kuliah seperti biasanya dan kerja sampingan,” jawabku seadanya. “Wow, menarik sekali ya? Terkadang aku justru rindu dengan ambisi-mu. Kamu tak pernah luput dari ingatanku, Evelyn…” dia menyesap secangkir espresso-nya. “Aku kangen kamu.”
Aku memandangnya dan tersenyum. Inilah satu kebiasaannya yang paling kurindukan. Dia dan secangkir espresso di tangannya. Kopi hitam yang diracik dari jenis biji kopi pilihan yang diproses dengan caraFrench Roast atau lebih dikenal dengan dark roast, adalah partner sejatinya dalam berbincang-bincang. Secangkir espresso itu tak kan pernah luput dari hidupnya. Tiap detik yang berjalan pasti ia lewatkan bersama air hitam sarat akan kafein tinggi itu. Kopi ialah pemicu kecemburuanku terhadapnya.
“Aku juga,” ucapku setengah berbisik.
Oh, mon Dieu, apa yang kuucapkan sangat kelewatan. Mengapa aku tak dapat mengerem ucapanku? Padahal aku pemilik mutlak ragaku sendiri. Mengapa aku tak dapat mengendalikan poin terpenting ini. Dia pasti mengira macam-macam. Aku tahu apa yang tersenyum di balik raut wajahnya yang tiba-tiba bersinar. Aku tahu yang maksud tatapan kedua matanya yang tajam dan menghunus jantungku dengan penuh arti itu. Itukah yang namanya cinta? Cinta yang dulu?
Ya Tuhan, aku tak kuasa menatap bola matanya yang tertuju padaku itu. Yang aku lakukan hanya menundukkan kepalaku. Aku berusaha menghindari kerlingan mata indah itu. Kedua tanganku meremas dress putih berbahan sifon crepe dengan detail pleats dan tulle halus yang kukenakan khusus untuk hari ini. Mendadak keringat dingin keluar dari pori-pori kulitku. Mengapa sampai begini ya? Kencan ini bukan yang pertama kali. Sudah berjuta-juta kali aku diterjang tatapan mata itu.
“Sudah kuduga,” tembaknya.
Hah?! Apa lagi ini? Demi Tuhan, aku benci sikapnya yang menggodaku dengan ucapan-ucapan yang terlontar dari mulutnya. Mungkin menurut kebanyakan orang, itu hanya gurauan. Tapi menurutku, itu sangat berarti.
Tiga tahun penuh di SMA, aku dikendalikan olehnya. Aku disetir habis-habisan karena sikapnya yang overprotective dan posesif. Dua tahun berikutnya, aku terbebas dari kekangannya. Entah kenapa selama dua tahun itu aku malah merindukannya. Dia yang hilang dan tak pernah berkomunikasi lagi denganku setelah aku memberanikan diri untuk menyudahi semuanya. Aku berteriak bahwa aku bosan dengannya; bahwa aku ingin memulai hidup baru yang kupegang sendiri; bahwa aku ingin menjadi perempuan yang dewasa dan berdikari.
Raut wajahnya yang menimbang-nimbang perkataanku waktu itu menyiratkan bahwa ia tak rela melepasku. Kini, raut wajah itu kembali kulihat. Dia ada dihadapanku. Aku boleh berpuas hati karena ia akhirnya kembali lagi padaku. Harapan ini terkabul jua. Aku tak lagi sendiri meskipun aku harus meninggalkan Cody.
Inikah yang aku inginkan? Aku tak tahu jawaban yang pasti. Yang aku tahu, aku harus memilih satu di antara dua pilihan. Dia atau Cody. Aku tak boleh memilih keduanya. Serakah dan rasanya tak adil bagiku, baginya, atau bagi Cody. Ibarat di antara dua jalan setapak, aku tak boleh memilih keduanya dalam waktu bersamaan. Memilih satu berarti bahagia dan melengkapi, sedangkan memilih keduanya adalah tabu untuk dilakukan dan menghancurkan.
“Lihat mataku, Evelyn. Kamu terlihat tegar jika menatapku. Aku suka itu,” sebuah tangan menyentuh daguku dan memberi tekanan untuk menengadahkan kepalaku.
Aku mengangkat wajahku dengan malu-malu. Akh, menjijikkan sekali kata-kata ini. Sesekali aku mencuri pandang menatapnya. Sesekali pula aku segera mengalihkan pandanganku. Sampai akhirnya, pandangan mataku dengan dia bertemu, dan kami saling memandang sejenak. Lalu, kami tertawa renyah.
Alunan lagu Indecisive yang dinyanyikan Sova featuring Soulmate melantun indah malam ini. Kami menghabiskan sisa malam ini di sebuah jazz lounge, tempat di mana aku dan dia berjuta-juta kali kencan ketika kami masih menjalin hubungan yang levelnya di atas persahabatan belaka. Di jazz lounge mungil itu, kami mengurai kenangan yang telah lalu. Kami juga memutuskan untuk membuat sejarah lagi.
Atmosfir jazz lounge yang warm mulai tune in dengan suasana hatiku. Mulanya aku risih. Tapi lama-kelamaan aku menyukai tempat yang mengusung unsur jazz untuk main music-nya ini. Pesona interior yang simplicity dan minimalis simetris membuat chemistry tersendiri. Lebih suave, rasanya.
“Apa rencanamu selanjutnya?” tanyanya dengan pandangan yang tak lepas dariku.
“Aku…” Aduh, bagaimana bicaranya ya?
“Katakan saja. Aku sepenuhnya mendukung rencana yang akan kamu lakukan. Kamu perempuan yang berdikari, bukan?” desaknya dengan gestur rapsodi.
Dar! Apa dia bilang? Berdikari? Heiy, dia mencuri kata-kataku. Aku ingat betul kata-kataku yang menghujamnya tajam saat aku memutuskan laki-laki ini. Oh, mon Dieu,.. tak kusangka dia masih ingat. Saking terharunya, kedua mataku nanar.
“Kamu kenapa? Aku tidak sedang menyinggung perasaanmu kan?”
Aku menggeleng pelan.
“Kamu baik sekali. Aku selalu merasa beruntung di dekatmu. Terima kasih untuk semuanya,” ujarku, syahdu.
“Sekalipun kamu akan pergi lagi dari sisiku, aku akan tetap berusaha menjadi yang terbaik untukmu,” dia meraih jemariku.
“Kau tahu?” sambutku, terperangah.
“Kamu adalah perempuan berdikari yang misionaris. Sungguh hal yang tercela jika aku mencegahmu pergi untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi demi kepentingan pribadiku,” paparnya, sangat heroik.
“Dan kau rela aku pergi dengan Cody?” tanyaku sambil menyeka bulir air mata yang membasahi kedua belah pipiku.
Dia tersenyum. “Aku yakin dia bukan rival yang seimbang untukku. Dia tak sama seperti kita, sayang…”
Oh, mon Dieu, lagi dan lagi. Dia pandai sekali membelokkan kata-kataku. Dia tahu yang kumaksud. Yah, Cody memang tak sepantaran dengan kami. Dia juga berbeda jauh dengan kami atau kamu. Dia unik.
“Menurutku, beasiswa itu akan menjadikanmu seorang jurnalis yang lebih komunikatif. Aku mendukungmu 100 %!” ucapnya mantap.
Seiring dengan ucapannya, gemintang cinta kembali melantun. Melagukan tentang keindahan cinta yang nyaris tak tersentuh. Aku memang beruntung memilikinya.
***
Aku tak kan terbang sendiri lagi. Aku tak akan lagi kesepian. Kata orang, jika aku ingin terbang tinggi dan meraih bintang yang letaknya jauh sekalipun aku harus berusaha. Belajar terbang tentunya. Maka kuputuskan dengan kematangan yang benar-benar bulat untuk angkat kaki dari tanah air tercintaku ini. Aku bukannya tidak nasionalis. Tapi misi mulia ini sungguh membebaniku angan-angan yang luar biasa mempengaruhi. Aku akan pergi melaksanakan sebuah mandat yang tertuju untukku. Hanya untukku saja. Maaf, ehem… Aku boleh sombong pastinya.
Dunia jurnalistik Indonesia yang marak digembar-gembor dan naik ke permukaan setelah tonggak demokrasi reformasi digalakkan telah melahirkanku juga. Aku mengakui penuh bahwa dunia sastra pun mulai terangkat lagi. Sekarang, banyak buku, teenlit, chiklit hasil karya anak bangsa yang bertebaran dijual bebas. Aku berharap mereka tak berhenti berkarya dan putus di tengah jalan. Aku harap angkatan-angkatan sastra pun dapat lahir dengan mulus hingga habisnya jaman. Sastra dan jurnalistik bukanlah tren yang bergerak seiring jalannya globalisasi. Dan semoga tak kan lenyap termakan omongan jaman yang makin gemar menggerogoti otak bangsa.
Aku salah satu orang yang malang melintang di dunia jurnalistik. Meskipun hanya sebatas kontributor lepas yang mengisi kolom di satu halaman sebuah surat kabar, aku merupakan bagian dari keluarga besar jurnalistik. Jurnalistik, sebuah dunia yang turut membesarkan nama-nama besar.
Beasiswa dari sebuah universitas terkemuka di benua Eropa, baru saja aku setujui. Dua pekan mendatang, aku berangkat ke sana. Sungguh menyesal aku terpaksa harus pergi dengan Cody. Aku rasa aku tidak dapat lepas darinya walau pada akhirnya aku berkehendak memutuskannya. Aku tak bisa. Aku masih mencintai keluarga besar yang digeluti Cody. Sampai kapan pun; mungkin sampai aku mati dan hanya terkenang lewat tulisan-tulisanku, aku tak dapat lepas dari Cody.
Aku dan Cody ditakdirkan satu kubu. Kami berdiri atas nama sebuah perlawanan yang menentang keras lajunya pekat yang semakin tidak tabu. Suatu tipu muslihat licin pun dapat kami tuai sebagai hasil kerja sama yang baik. Jika salah satu di antara kami mundur, maka kami sungguh-sungguh bercerai. Karena kami bukanlah apa-apa jika kami terpecah. Analogi umumnya, seperti Negara Indonesia ini juga. Apalah arti sebuah persatuan dan kesatuan buah hasil perjuangan pahlawan-pahlawan terdahulu jika kita tidak dapat mempertahankan tradisi. Perjuangan adalah tradisi kita. Mirisnya, entah kenapa, gerakan separatisme dan anarki malah menjadi tren khalayak umum. Padahal dulu, kita makmur tanpa perpecahan dan kekerasan.
Akh, sudahlah. Membicarakan sebuah era baru di mana aku tak mengenalnya dengan baik, benar-benar membuatku pusing. Mungkin biarkan saja semua mengalir begitu saja. Anggap saja seperti bumbu sejarah agar rasanya tidak hambar. Mempergunjingkan masalah yang tak dikenal baik dan bukan bidangnya, akan menambah masalah saja. Pengadilan sekarang akan tambah ribet jika kita turut campur. Maka biarkan saja. Semua akan baik-baik saja. Yakinlah. Karena kita masih satu.
Malam ini, aku menghabiskan waktuku bersama Cody. Aku dan Cody berduaan hingga fajar menyingsing. Itu biasa kami lakukan pada malam-malam sebelumnya. Setelah ini, hari-hari yang kujalani bersama Cody pasti lebih berat lagi.
Aku menggeliat pelan sembari melihat sebuah kertas yang tertempel di papan memoku. ‘Deadline: Koran Senja. Hari ini! Mati aku!’ Hmm.. sudah selesai, batinku senang. Kemudian aku merapikan kertas-kertas print-out dalam sebuah map file. Sebentar lagi, map ini akan sampai ke tangan sang ambisius tukang koreksi dan pencetus tanggal mati –deadline- seenak jidat. Bram, si editor Koran Senja, tunggulah aku.
Lama aku berdiri di balkon kamar tidurku setelah menatap Cody yang kelelahan. Sama halnya denganku, mata Cody pun tinggal satu inci. Sebentar lagi, ia pasti tertidur karena kehabisan energi. Apalagi tadi malam aku lupa men-chargernya. Oh, maafkanlah aku Cody. Aku sungguh kejam karena telah menduakanmu dan mengabaikanmu.
Hmm.. Pagi ini indah benar. Selamat datang pagi!
Si bintang pembesar pun mulai menampakkan dirinya yang angkuh. Matahari, selamat pagi. Aku tak mungkin kehilangan sinarmu yang benderang itu. Kemana pun aku pergi, sinarmu pasti akan menyisir langkahku. Kecuali jika kiamat kecil menimpaku. Yakni, kematian.
Baiklah, di suatu pagi yang menawan ini, kita tidak akan membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kiamat kecil. Rasanya kita tak mensyukuri karunia-Nya saja. Kau tahu, baru saja dia –sosok lelaki yang kembali bersandar di pangkuanku itu- menelponku dan mengucapkan selamat pagi padaku. Dia sungguh baik ya? Dan aku rasa, dialah yang nomor satu.
Sandi, nama lelaki itu.
Artifisial sekali ya nama laki-laki itu. Dia memang rumit seperti sandi. Butuh waktu cukup lama untuk memahami maksudnya. Tapi aku suka itu. Hingga akhirnya aku menetapkan pilihanku padanya. Aku bersandar penuh di bahunya. Aku meniti tiap detil perjalanan hidupku bersamanya. Dan untuk Cody yang terlupakan; kutinggalkan, maafkan aku. Cody memang bukan rival Sandi. Karena Cody bukan siapa-siapa yang nampak seperti manusia. Dia hanyalah sebuah laptop yang kubeli dua tahun yang lalu. Namun aku tak sepenuhnya meninggalkan Cody. Bukankah aku dan Cody adalah partner kerja? Sama seperti Sandi yang kerap kali bercinta dengan secangkir espresso-nya.
Sebuah nama untuk benda kesayangan adalah sesuatu yang biasa, bukan? Sandi dan Cody tetap berada di sampingku. Mereka adalah elemen penting dalam komposisi hidupku. Aku masih cukup komposmentis hingga dapat membagi rasa cintaku untuk dua hal penting itu. Dan satu, sebuah nama bukan berarti mewakili suatu makhluk hidup.
Yogyakarta, 10 Juli 2006
“Untuk jurnalistik Indonesia, terima kasih telah membangunkanku.” AP

Dunia dalam Mata

Oleh Anindita Siswanto Thayf
Kira-kira, samakah dunia di mata setiap orang? Di mereka yang bermata sipit atau belo, bermata biru atau hitam? Di mata saya, Anda atau dia?
Arti kata “dunia” dalam kamus Bahasa Indonesia adalah bumi dengan segala isi yang terdapat di atasnya atau jagat tempat kita (manusia) tinggal. Maka jika berbicara tentang dunia, itu berarti bukan hanya berbicara tentang bentuk bumi sebagai wadahnya saja—yang sudah disepakati secara universal adalah bulat seperti bola—tapi juga termasuk keadaan lingkungan dan penghuninya; pemandangan sekitar.
Dunia Yang Dilihat
Adalah kebetulan jika seluruh rakyat negeri Cina yang bermata sipit dan bahkan terkadang ada yang hanya menyerupai garis lurus—sehingga luas pandangannya cukup terbatas, menurut orang yang bermata besar—tinggal di dalam kota yang dikelilingi tembok raksasa selama beratus-ratus tahun tanpa merasa terkurung atau terbatasi (dalam hal sudut dan luas pandang). Dan juga adalah kebetulan jika seluruh rakyat negeri Asia Selatan yang bermata belo atau besar, tinggal di daerah yang dikelilingi struktur tanah yang cukup tandus, kering dan masih ada gurun pasir, sehingga mata mereka bisa selalu memandang dengan leluasa ke sekelilingnya. Masih juga dapat disebut suatu kebetulan jika hampir semua ras orang bermata biru pernah menjajah hampir semua ras orang bermata coklat tua atau hitam.
Terlepas dari semua kebetulan itu, dunia bagi seseorang adalah semua objek yang ada sekitarnya yang dapat ditangkap oleh retina mata, lalu diteruskan ke otak untuk diproses, hingga akhirnya memberi hasil yang berupa pengenalan atau pemahaman atas objek itu, berupa penglihatan. Inilah yang kemudian menjelaskan bahwa sebenarnya, perbedaan yang timbul dari apa yang dilihat bukan berasal dari warna atau bentuk mata seseorang, tapi lebih kepada individu masing-masing.
Seorang bermata belo akan melihat dunia seperti dilukis dalam kanvas yang ukurannya terbatas jika ia berada dalam penjara, buta huruf, atau tergolong masyarakat ekonomi lemah sehingga tidak mampu menyembuhkan penyakit matanya—katarak adalah penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat golongan ini. Sedangkan orang bermata sipit dan sehat, yang berpendidikan tinggi dan berasal dari golongan masyarakat mampu—apalagi jika termasuk penduduk salah satu negara maju di Asia, seperti Jepang—akan mampu melihat dunia yang lebih luas daripada penduduk dari negara terbelakang, walau matanya tidak se-belo ikan mas koki.
Mata dan Dunia: Jendela dan Kenyataan
Kemajuan zaman juga telah memungkinkan orang berganti-ganti warna lensa mata dengan menggunakan lensa kontak warna-warni—selain sebagai alat bantu penglihatan, juga sebagai asesori penunjang penampilan. Maka tidak heran, jika terlihat orang-orang berwajah Asia dengan bola mata biru, hijau, merah, bahkan putih, beredar di setiap sudut jalan, pusat perbelanjaan dan hiburan, atau tampil di panggung dan acara televisi.
Tapi, jika ada yang pernah berpikir bahwa dengan meniru warna mata ras bangsa Eropa, yang biru atau hijau, maka dunia pun akan terlihat sama seperti dunia yang dilihat oleh mereka, jelas adalah salah. Dunia tidak akan pernah berubah hanya dengan menggonta-ganti lensa kontak atau kacamata—untuk yang lensanya berukuran, dunia memang akan terlihat lebih jelas tapi keadaannya tetap sama. Sebab, dunia adalah pemandangan yang ada di sekitar kita, dan kacamata atau lensa kontak hanyalah kaca atau tirai jendela yang berfungsi sebagai penyekat, sedangkan mata adalah jendela itu sendiri. Meskipun jendela tersebut sengaja dipasangi kaca bermozaik indah, seperti yang ada di gereja-gereja, tapi semua itu hanya fatamorgana atau tipuan belaka karena pemandangan yang sebenarnya adalah apa yang terpampang di baliknya yaitu kehidupan yang nyata.
Mata memang jendela dunia. Jendela yang ada di rumah kita, yang mungkin saja menyajikan pemandangan tentang sumur umum di seberang jalan, dinding tripleks yang menempel di sebelah kiri, sederet pakaian basah yang dijemur di tepi sungai berair coklat keruh di halaman belakang, dan sebuah gerobak jualan karatan yang parkir di sebelah luar dinding kanan. Atau mungkin juga menyajikan pemandangan ala jendela apartemen berlantai puluhan, berupa kesibukan kendaraan bermotor di atas jalanan yang seperti ular naga panjangnya yang berwarna abu-abu dan bercabang ke mana-mana, jauh di kaki gedung. Atau jika beruntung, jendela itu akan menyajikan pemandangan yang indah-indah seperti, sejuknya kolam renang berair biru, rimbunnya taman belakang yang terawat dan terpangkas rapi, dan mewahnya mobil mahal yang berjejer di garasi samping rumah. Jendela juga bisa hanya menyajikan langit berbentuk persegi panjang, dari balik jeruji besi.
Matamu, Duniamu
Bukalah mata lebar-lebar jika ingin melihat dan peduli pada apa yang ada sekeliling Anda. Atau tutuplah mata rapat-rapat jika tidak ingin melihat dan tidak mau peduli pada apa yang sedang terjadi di sekitar Anda. Mata sebagai jendela memang punya pilihan untuk dibuka-tutup atau diberi hiasan agar pemandangan yang disajikannya terlihat lebih indah. Meski dunia di baliknya jauh lebih buruk dari yang dibayangkan, atau lebih jelek dari yang diharapkan, tetapi hal itu tetap merupakan kenyataan yang harus dihadapi dan kehidupan yang harus dijalani (karenanya, jangan pernah membiarkan mata Anda terbuka padahal Anda sendiri tidak mau menggunakannya untuk melihat).
Mata sebagai jendela yang kacanya jernih dan tirainya bersih akan membuat dunia yang terlihat jauh lebih cerah dan memberi harapan. Sebaliknya, mata sebagai jendela yang kacanya buram dan tirainya kotor akan membuat dunia terlihat jauh lebih suram dan memupuskan harapan. Karenanya, pilihan untuk menciptakan dunia yang ingin dilihat oleh mata kini berada di tangan para pemilik mata itu sendiri. Bagaimana pun keadaan dunia nyata yang sesungguhnya, akan selalu tampak lebih baik di mata yang sehat daripada di mata yang tidak sehat. Apakah untuk Si Mata Belo, Si Mata Sipit, Si Mata Biru atau Si Mata Hitam.
(Jogjakarta, 5 Juli 2005)

Mahadewi, Cinta Yang Diam

Oleh Sayuri Yosiana
Disenja itu,  kutuangkan tentangnya yang  pernah kuingat…..
Kulihat dalam gerak matamu, gelombang mahkotamu, gemuruh jantungmu. Kutuang semua yang jadi gerakmu. Hingga helaian nafasmu yang seperti berbisik pada malam, disaat fikiranku melukis segala pesonamu. Kau yang selalu menari dimataku. Kau yang membisikkan nyanyian jiwa ditelingaku. Kau yang mengucapkan  “Aku rindu…” tiap kali tatap kita bertaut. Bukan bibirmu yang mengucap. Tapi matamu..
Senja ini kembali menggeliat di perbatasan malam. Aku terharu saat mengingat seolah tiada lagi hari-hari kita bersama. Apakah ini sebuah takdir. Apakah ini kan abadi. Pertemuan ini…perpisahan ini….abadikah? Mana diantara keduanya yang kan mengukir keabadian kita? Aku tengah  mengenangmu, gadisku. Gadis bermata teduh yang pandai bermain musik dan menari. Kau yang berhasil merebut seluruh energi fikiranku. Kau yang akhirnya mengucapkan  selamat tinggal disaat cinta sedang mekar.
Seorang kawan pernah mengatakan sesuatu yang baru kusadari kebenarannya. Menurutnya, disetiap karya seniku selalu ada dirimu. Aku diam saja saat itu. Merasa takjub pada pengamatan pribadinya. Aku bahkan belum bisa memastikan benarkah demikian? Karena setiap kali aku menghasilkan karya seni berupa lukisan, syair lagu, puisi dan novel, aku sangat fokus dan tak lagi mampu membedakan apakah aku juga tengah membayangkan seseorang sebagai sumber inspirasiku. Atau memang aku mencoba tak mengindahkannya? Berusaha tak menyadarinya?
Kupandang lukisanku. Tersenyum dalam diamku, kucoba mengakui. “Ya..ternyata memang ada kau disana”. Sejak kapan kau hadir dalam lukisanku?” . Aku memalingkan wajah ke arah pemandangan lembah dari sudut jendela. Tampak lembayung mulai membayang. Aku terkenang akan pelangi yang pertamakali menarikku mencintai seni lukis.
Seni lukis adalah kesenian yang terakhir kupelajari. Dan ternyata aku baru tahu betapa jiwa seniku memang kental. Aku berbakat, kata guru lukisku. Setelah itu selain menulis karya-karya sastra, mengaransemen lagu, maka akupun mulai mampu menghasilkan karya-karya lukis yang diminati kalangan pecinta seni. Entah mungkin bakatku menurun dari ayahku yang sebenarnya hanyalah pelukis amatiran. Sedangkan ibuku mantan pianis yang juga guru kesenian di sebuah sekolah dasar.
Mataku kembali kuarahkan pada lukisan didepanku. Sebuah lukisan taman bermain. Kutempatkan disana bunga-bunga, bangku taman, air mancur dan orang bersantai. Namun…yang manakah sosok dirimu? Sesuatu dihatiku membawa bola mataku ke sosok wanita bergaun temaram yang anggun. Berdiri sendiri menatap kolam taman. Sendiri di antara keramaian. Sekarang aku tahu, itu dirinya. Aku melukisnya. Aku memang telah menghadirkannya.
Sudut matamu membentuk siluet bisu. Tatapan sejernih telaga, aku terpana sudah. Setiap kali selalu begitu. Terhisap fokusku pada sosokmu. Panjang gaun birumu, panjang rambut mayangmu menghipnotisku. Begitu sederhananya. Sebuah pesona yang hening. Begitu jelita wajah polos itu. Aku jatuh mendamba. Namun cinta tiada berani bicara. Aku tersenyum ironi. Mengapa baru kusadari perasaan yang menerpa saat melukismu disudut taman?
Segala rasaku kusimpan baik-baik. Begitu rapi, begitu tertata dihati dan fikiranku. Biarkan segala rasa ini kupunya. Hanya milikku. Mungkinkah milikmu juga? Ah, mengapa tidak? Darah seniku mampu menangkap binar matamu. Mampu menangkap hangat tatapmu yang mengirimkan getar rasa. Mungkinkah kaupun jatuh cinta? Berarti cinta itu milik kita. Aku tersentak dalam lamunku. Mencoba menepisnya. “ Itu sangat mustahil”, batinku dengan nada luka.
Kubuka-buka antalogi puisiku. Kubaca satu persatu. Aku lelah sangat. Ternyata benar kata temanku. Disetiap baitnya kembali kuhadirkan dirimu. Puisi-puisi romantis penuh nuansamu. Tapi di puisi-puisi yang bernuansa sosial yang kritispun , ternyata sosokmu jadi sumber inspirasiku. Begitu lama aku menjadikanmu sebagai bunga, buruh pabrik tertindas, pengemis jalanan, pelacur dipojok jalan, putri kesayangan pejabat, mahasiswi pendemo, srikandi dalam kisah wayang, kupu-kupu yang tak mau menyentuh bunga, atau gadis yang tengah jatuh cinta dan patah hati. Semua tokoh imajiku bersumber darimu. Padahal kita jarang bersapa. Kita adalah dua anak manusia berlainan dunia.
Duniaku yang diam dalam geraknya. Dan selalu bergerak dalam kesunyiannya. Aku terkenal diduniaku sendiri. Aku adalah seniman serba bisa kebanggaan masyarakat pecinta seni. Aku adalah seniman masa depan. Kalangan seni sudah memperkirakan namaku akan menjadi sebuah legenda baru. Ah, aku kini tak terlalu perduli dengan semua julukan itu.Aku hanya ingin mengenangmu. Gadis bergaun anggun dengan senyum ba’malaikat.
Kembali fikiranku melayang ke beberapa bulan lalu, saat pertamakali kau hadir dalam hidupku.
Saat itu dirimu adalah gadis anggun yang mengajarkan kerajinan tangan pada murid-muridnya yang tak mampu. “ Aku tak punya darah seni yang kental sepertimu”, begitu ujarmu suatu hari saat membawa murid-muridmu mengunjungi galeriku. Melihat hasil karyaku. Membaca buku-bukuku di perpustakaan pribadiku. Dan mendengarkan permainan pianoku yang menggugah pendengaran para maestro seni musik dinegeri ini. Akulah seniwati sejati yang kesepian dan jatuh cinta pada gadis pengajar yang kutemui saat audisi menari disanggarku beberapa bulan lalu.
Gadis ini berbakat menari. Namun kesibukan mengajar menghalangi potensinya menjadi penari professional. Dia memilih menjadi sukarelawan diantara anak-anak di sepanjang rel kereta itu. Aku sendiri belum mampu idealis seperti dirinya. Aku masih menempati menara gadingku sendiri. Namun persahabatan aku dan dia terjalin indah.
Dan kekagumankupun berbuah sayang…dan akhirnya cinta. Sebentuk cinta yang diam. Cinta yang tak mampu dan tak boleh kutunjukkan. Karena aku wanita, dan dirimupun wanita. Sejatinya wanita. Bukan sepertiku yang setengah wanita. Karena hormonku pria. Cinta ini hanya mampu kusimpan.
Sampai suatu hari kutemukan sebuah ledakan dihatiku. Saat melihatnya berpegangan tangan dengan seorang pemuda. Seorang pemuda yang terlihat dewasa. Yang tangannya pasti mampu menghangatkan aliran darahnya. Mampu membuatnya tersenyum bahagia. Pemuda itu jelas bukan diriku. Bukankah aku ini seorang perempuan dimatanya? Saat itu hatiku begitu sakit. Ternyata rasa mencintai tak lagi indah. Ternyata mencintai itu sebuah derita. Dan aku langsung jatuh sakit diterpanya. Diterpa perasaan yang kutahu tidaklah sepantasnya kumiliki.
Baru kusadari saat itu aku terpuruk dalam jalur cinta yang salah arah. Dan aku terlambat menyadarinya. Aku bahkan menikmatinya. Aku tak ingin kehilangan rasa itu. Rasa yang begitu ajaib yang baru kali ini mampu menggerakan seluruh panca indraku. Setelah sebelum-sebelumnya mati rasa. Karena gadis itu aku menjadi hidup. Dan dirinyapun menghidupkan rasa seniku yang akhir-akhir ini dinilai kritikus seni menjadi agak kering dan tak lagi berjiwa. Sejak kepergian ibuku, rasa seniku memang tak lagi berjiwa. Dan  gadis itu telah hadir membasahinya hingga lembab dan kembali hidup. Dia yang baru kukenal beberapa bulan saja. Betapa hadirmu bagiku sebuah keajaiaban seni itu sendiri.
Dan keajaiban itupun masih tetap hadir meski kamu telah pergi. Pergi bersama pemuda itu. Yang membawamu jauh dariku. Entah kapan aku mampu melihatmu lagi dalam keadaan nyata. Bukan lagi sebuah mimpi. Bukan lagi sebuah bayang. Bukan lagi semacam ruh dalam setiap karya seniku.
Pagi itu setelah kemarin aku melihatmu berdua dengannya, kau datang padaku. Tidak bersama murid-muridmu. Kau datang sediri membawa sekeranjang jeruk Sunkist kesukaanku. Tersenyum tipis dan dengan segera mengupas sebuah jerukmu dan menyodorkannya padaku tanpa bicara. Tanpa menyapa pula sebelumnya. Kau selalu tahu aku jarang menjawab sapamu tiap kali kau datang sendiri sementara aku sedang melukis atau membuat syair lagu dan puisi. “ Hmm..tahukah kau waktu itu, sosokmu ternyata selalu ada dalam jemariku?”, gumamku.  Sendiri.
Aku hanya mengucapkan terimakasih dengan santun seperti biasanya. Aku memang dikenal sebagai gadis seniman yang pendiam dan santun. Tak banyak bicara tapi berkarya. Mereka tak pernah tahu semua kebanggaan itu sesungguhnya tak selalu membahagiakanku. Hanya aku dan temanku Fajar, selain orang tuaku tentunya yang tahu tentang diriku yang sebenarnya. Fajar adalah sahabat sejak kecil. Dan dia adalah sahabat sekaligus kawan berkelahiku sejak masa-masa sekolah. Aku yang dikenal pendiam dan pemnyendiri tapi mampu berkelahi mengalahkan anak laki-laki manapun saat itu. Aku berlatih segala ilmu bela diri sejak balita. Ayah dan ibu memasukanku ke segala klub kegiatan untuk meredam keganjilan diriku.
Aku telah berhasil membanggakan publik dengan segala talenta seniku yang menghasilkan banyak penghargaan, bahkan mengharumkan nama daerahku, negaraku. Namun aku telah mengecewakan orang-orang dekatku karena ketidaknormalan yang baru kusadari sejak duduk dibangku SMP. Aku telah membuat tumpah air mata orangtuaku. Aku gagal menjadi gadis mereka yang sebenarnya. Aku terus masuk dalam duniaku. Terus melupakan mereka yang senantiasa mencoba mengobatiku dengan berbagai cara. Dan itu membuatku suatu hari menjadi histeris. Sejak itu orangtua dan sahabatku berhenti mengupayakan kesembuhanku. Hanya mengawasiku. Membantuku menjalani kehidupan dengan senormal mungkin. Akupun tak ingin frontal mengekspresikan segala hasrat maskulinku. Aku tak ingin orangtuaku menangis darah. Aku sudah cukup mencederai batin mereka.
“ Maafkan aku”, gumamku entah pada siapa. Fikiranku ke masa lalu. Tapi mataku tekun menatap sketsa wajah dia yang sedang kubuat malam ini. Ya malam ini aku mencoba menggambar sosok dia yang sebenarnya. Bukan lagi sesosok yang hadir tanpa sengaja dalam setiap lukisanku ataupun syair-syairku. Tapi sosok yang memang sengaja ingin kubuat ada. Aku ingin melukis wajah lembutnya yang menghipnotisku hingga detik ini.
Aku ingin membuatkan syair lagu untuknya di studioku nanti. Dan lagu itu akan kunyanyikan sendiri. Aku akan membuatkan puisi untuk dia. Puisi yang khusus bicara tentang dirinya. Dan aku akan membuatkan kisah cintaku dengannya. Meski kenyataannya aku dan dia tak pernah benar-benar terlibat dalam suatu hubungan spesial. Namun aku selalu merasa dia tahu apa yang kurasa. Dia tahu aku memujanya.
“ Kalaupun ‘gadismu’ itu memang seperti apa yang kau fikirkan. Kurasa itu bukan cinta, Jingga. Tapi hanya sebentuk kekaguman padamu semata. Ingat, disini kau yang bermasalah, bukan dia. Gadismu itu perempuan normal!” Fajar menjelaskan dengan sedikit emosional saat aku menceritakan perasaanku tentangmu. Dan mencoba berspekulasi tentang perasaanmu padaku.
Aku tersenyum maklum. Sudah sejak masa SMP aku tahu Fajar menaruh rasa indah untukku. Sahabat masa kecilnya ini. Rasa yang tak pernah bersambut. Yang sempat dia utarakan terus terang, tapi hanya kuberikan senyum sebagai jawabnya. Fajar yang tetap setia menjadi teman baikku hingga kini. “Maafkan aku selau mengecewakanmu, kawan. Batinku, lirih.
Aku merasa kesal pada diriku sendiri. Hari ini benar-benar tak mampu berkonsentrasi. Lukisan tentangmu masih setengah jadi karena aku lebih sering melamunkan dirimu daripada melukisnya. Syair laguku tak selesai karena aku tiba-tiba begitu hanyut pada nada-nada yang kuciptakan sendiri. Terhanyut pada romantisme sosokmu yang begitu perempuan. Bait-bait puisikupun hilang arah dan tak mencapai ending karena keburu basah oleh air mataku sendiri. “Aku rindu kamu, gadisku”., bisikku pada diri sendiri.
Hingga kisahku tentang dirimu yang kutulis dalam sebentuk novelette, hanya bertahan di bab ketiga. Aku dilanda rasa marah, sedih, kecewa, kangen, benci dan histeria romantika yang tak terjawab. Tak tersampaikan pesan-pesannya, tak terbaca simbol-simbolnya oleh dia, sang mahadewi. Bidadari senjaku. Aku hanyut dalam cinta yang diam namun bergelora dalam jiwa mudaku yang dengan susah payah kuredam kegalauannya. Jiwa muda yang merasa harus terbalas cintanya, namun sadar situasi tak mendukungnya. Takkan mungkin memihaknya.
“AKU TIDAK NORMAL!”, jeritnku suatu malam dikamarku yang untungnya kedap suara. Perasaan ini begitu membelenggu. Dia mendidih didalam, dan mendingin diluar. Aku terjebak dalam pertarungan dua rasa. Namun aku belum kalah. Aku tengah mengusahakan kemenanganku. Kemenangan merebut ruhmu dalam setiap getar seniku. Aku mungkin tak berhasil membawamu dalam sosok fisikal. Tapi akan kugenggam jiwamu. Cinta versiku. Kemenangan versiku pula. Dan itu cukup aku yang merasakannya sendiri.
Aku berlari keruang tengah galleri. Aku buka kain  pembungkus. Kutatap setiap lukisan yang menghadirkan sosok dirinya. Pada salah satu lukisan, aku berhenti. Kutatap dengan kebencian dan cinta. “ Apakah tak pernah kau rasakan, dalam lukisanku, syair-syair laguku, bait-bait puisiku, denting pianoku, kisah-kisahku…semuanya ada kamu disitu. Ada dirimu didalamnya. Mengapa kau tak pernah merasakannya? Mengapa kau tak mampu memaknainya?”
Aku bicara sendiri pada lukisan didepanku. Diterangi temaramnya lampu, lukisan menjadi begitu hidup. Kuulurkan tanganku mengusap seraut wajah ayu. Lalu dengan gemas lukisan setengah jadi itu kurobek dan kuhempaskan. Terkoyak dan meninggalkan lukanya yang menganga di sudut hatiku. Aku menangis semalaman sesudahnya.
Setelah berbulan-bulan aku terjebak dalam ilusiku sendiri. Aku mulai mampu mengekpresikan sosokmu dalam sebuah karya nyata. Aku puas dengan hasil kerjaku menghadirkan sosok gadis itu secara utuh. Tak lagi sebatas pelengkap lukisanku. Tapi sebagai sosok yang hidup. Juga sebuah lagu balada yang menyuarakan hasrat yang tak mengutuh pada dia. Dan sebuah novel yang berkisah khusus tentang sosoknya sebagai tokoh utama mendampingiku.
Pagi ini setelah menghirup segelas jus mangga sebagai sarapan pagiku, aku mencoba mengontak dia lewat email. Aku tak pernah lagi mengontaknya lewat telpon atau sekedar sms sejak perpisahan kami. Aku lebih suka lewat email. Karena memberiku jeda waktu untuk memikirkan apa jawabku bila dia bertanya tentang kabarku. Aku tak ingin dia tahu aku sangat kehilangan dirinya. Dan masih selalu memikirkannya. Aku benci bercampur getaran rasa lainnya bila dia mengucapkan kerinduannya padaku. Entah rindu apa yang dia maksud. Rindu sebagai sahabatkah? Aku tak butuh itu. Aku tak mau jadi sahabatmu. Sekarang dia adalah ‘musuh’ku. Tak perduli apa pendapat dunia tentangku soal ini. Aku berhak untuk mengekspresikan kemarahanku. Benar atau salah biar aku yang menilai. Bukan orang lain, apalagi dirinya.
“ Hello, Dewi…ini aku, Jingga” …..dstnya….email kuketik dengan jari bergetar. Kukirim dengan lega juga takut. Ya..sejak aku kehilanganmu, aku mulai tak enjoy lagi setiap kali mengontakmu. Entah mengapa, sepertinya tiap responmu selalu melukaiku. Aku menjadi begitu sensi. Tak lagi rasional. Ah..sejak dulu rasioku memang sudah kutinggalkan. Aku lebih suka menggunakan  intuisi dan hatiku. Meskipun hidupku menjadi super sentimental karenanya.
Seminggu kemudian email itu baru dibalas. Singkat saja, bahwa dia berterimakasih atas kerja kerasku membuat karya seni untuknya…bla…bla…bla…aku tak terlalu berminat membacanya. Kesan basa basinya sudah semakin basi bagiku.
Tiba-tiba aku kaget sendiri. Aku merasa malu pada diriku. Mengapa begitu kekanakan diriku ini? Aku adalah gadis berprestasi. Mengapa aku tak bersyukur dengan segala anugrah yang telah kudapat? Ada apa dengan diriku? Mengapa fikiranku masih terpenjara pada masa laluku? Pada seseorang yang tak pernah membuka hatinya untukku? Mengapa cinta ini begitu membutakan mataku? Apakah karena aku masih muda? Masih sangat emosional bicara tentang cinta. Dan..ohh..lupakah aku pada kodratku sendiri? Bahwa mencintai seorang gadis sangatlah tak layak untukku. Pemudalah yang harus kucintai. Cintaku sudah jelas terlarang. Betapapun murninya. Yang murni tak selalu suci. Yang murni tak selalu diterima. Aku mencoba hening sejenak. Membaca hatiku sendiri. Bertarung dengan logika mudaku.
Entah kenapa aku jadi ingat Tuhan. Sudah lama Dia aku lupakan. Yang kuingat hanya dia dan bukan DIA. Tapi aku mencoba memaklumi perubahan ini. Pastilah karena aku sedang butuh Tangan-NYA, maka aku ingat Tuhan. Aku butuh pertolongannya agar mampu meluruskan logikaku kembali. Agar cinta yang konon dari MAHA SUMBER CINTA ini dialihkan untuk cinta yang lebih universal. Bukan lagi pada Mahadewiku. Aku memohon padaNYA agar mengampuni segala kealpaanku. Aku juga mohon agar cinta pada gadisku pelan-pelan teralihkan pada malaikat-malaikat mungilnya yang lebih membutuhkan. Aku pecaya doa adalah sebentuk upaya mencari jawaban.
Maka dengan ditemani Fajar, aku mulai berembuk untuk bekerjasama dengan rekan-rekan Dewi yang lain untuk membimbing murid-murid cilik itu mengenal dunia seni lebih jauh. Dengan demikian aku telah membagi cintaku untuk dewiku lewat malaikat kecilnya yang sangat dia sayangi. Dewiku memang telah pergi ke kota lain meneruskan pendidikannya. Kota tempat tinggal pemuda yang dicintainya. Mungkin mereka masih bersama. Tapi aku mencoba melupakan semua yang pernah kurasa. Mencoba memaafkan diriku sendiri. Mencoba mengalihkan cintaku pada sesuatu yang lebih luas. Pada mereka yang lama tidak pernah kusentuh di menara gadingku. Aku mulai berdamai ada diriku sendiri.
Kini aku tengah mencoba berusaha menemukan kebahagiaan hakiki di dua duniaku sekarang. Membentuk bibit-bibit baru dalam meramaikan kesenian sastra, lukis dan musik pada generasi penerusku.
Setahun telah berlalu, Angin Oktober yang dingin tak mampu meredam gairahku menjadi pengajar murid-murid kecilku. Mereka adalah Dewi-dewi kecilku. Malaikatku sekarang.
“ Terimakasih duhai mahadewiku, lewat dirimu…setidaknya aku menemukan cinta yang lain”…
Aku tersenyum sendiri seraya meneruskan kisah hidupku dalam sebentuk novel. Sebuah kisah tentang sebentuk cinta yang diam tapi terus bergerak dalam pencariannya.
Langit Batavia , April 2010