Minggu, 24 Juli 2016

Kota yang Ditinggalkan

Cerpen Yudhi Herwibowo (Media Indonesia, 30 Juni 2013)
Kota yang Ditinggalkan ilustrasi Pata Areadi
SAAT kota ini tercipta, tanah seperti retak. Di situlah peri-peri bersayap rapuh muncul dari langit, menaburkan benih-benih tanaman. Satu per satu tumbuh. Di ujung-ujung daun dan ranting paling ranum, mereka meletakkan dua janin berbeda kelamin di tempat yang berjauhan, setelah sebelumnya mengganti hati keduanya. Kelak keduanya akan mencari hati masing-masing.
Kau dengar? Itu satu kisah tentang kota ini yang paling kerap dikisahkan, terlebih bila kau tengah duduk di taman itu, taman cinta, tempat semuaorang akan mengungkapkan cinta. 
Bila kau orang asing yang baru datang ke sini, kau akan takjub dengan kisah-kisah yang beredar. Dari kedai-kedai minuman beratap sirap, dari sudut-sudut taman berkursi batu, dari ruang-ruang berjendela terbuka, telingamu akan mendengar suara orang bercerita. Seperti di ujung sana, yang sedang berkisah tentang Danau Merah di hadapannya.
Langit seperti berdarah saat pemberontakan terjadi. Kau tahu, kadang darah menandakan luka. Tapi luka menandakan sesuatu yang lebih dalam lagi. Seorang pangeran yang baru saja kehilangan semua keluarganya, bersimpuh memohon pada dewa. Dewa kemudian memberinya sebuah pedang yang setiap digerakkan, deru anginnya bisa melukai orang yang berdiri puluhan meter darinya. Maka ribuan pemberontak itu dengan mudah dihabisinya, hingga membuat genangan darah di tempatnya berdiri, selayaknya danau kecil berwarna merah…
Kisah-kisah terus diceritakan dari mulut ke mulut. Semakin lama, semakin ditambah-tambahi, sehingga terdengar luar biasa. Inilah yang kemudian menarik minat orang-orang dari kota lain. Satu per satu dari mereka datang, mencari kisah-kisah itu, lalu menyerap semuanya dengan takjub, dan menceritakan kembali dengan versi mereka.
Maka bila kau ke kota itu, kau tak akan lagi mendengar kisah-kisah yang jamak terdengar, seperti kisah tentang salju putih dingin yang menutupi seluruh kota, atau tentang pohon beringin yang telah berumur ratusan tahun. Tidak! Yang akan kau dengar adalah kisah tentang seorang hartawan yang menyebarkan kristal-kristal putih untuk menutupi semua kota sebagai bukti cintanya pada sang istri, atau tentang seorang dewa yang membuat kesalahan besar hingga dikutuk menjadi sebuah pohon besar yang tak akan mati! Kisah-kisah yang sulit dibedakan kebenaran dan kenyataannya!
***
Semua orang tahu, kisah-kisah ini berasal dari seorang laki-laki tua. Namanya mungkin telah terlupakan. Namun orang-orang menyebutnya sang Pengarang, gelar dari penguasa kota untuk dirinya. Gelar satu-satunya.
Kata kakek, ia bukan penduduk asli kota ini. Semasa muda, ia berkelana dari satu negeri ke negeri lain untuk menyerap semua kisah dan menuliskannya.
Tapi setelah tiba di kota ini, ia tak lagi berniat pergi. Mungkin ia sudah lelah berkelana, atau takluk oleh kisah-kisah kota ini? Telah lama orang-orang di kota ini menyimpan kisahkisah leluhur mereka. Tapi tak ada satu pun yang runtut dapat menceritakannya secara jelas. Mereka hanya mampu menceritakannya sebagian dengan cara tak beraturan, bahkan kadang membingungkan. Laki-laki tua itu yang kemudian mencoba merangkainya satu per satu. Maka hanya beberapa tahun lewat, satu per satu kisah pun kemudian menjadi kisah-kisah yang luar biasa.
Dulu, ia selalu memulainya dalam kerumunan di pusat keramaian. Dengan trompet bekas, tambur, dan beberapa boneka ia akan memancing perhatian orang untuk mendekat. Ia selalu mengawalinya dengan teriakan khas; woleloho, woleloho, woleloho…. Setelah orang-orang berkumpul, mulailah ia bercerita. Semula hanya beberapa gelintir orang yang mendengar, tapi pada akhirnya, hampir semua orang terkesima. Bahkan penguasa kota yang tanpa sengaja lewat dibuatnya terpana. Ia kemudian kerap dipanggil untuk berkisah secara khusus bagi keluarga penguasa. Di situlah gelar sang Pengarang ia peroleh.
Tapi itu dulu. Puluhan tahun lalu. Kini semuanya telah berubah. Lelaki tua itu sudah terlampau tua. Tangannya tak lagi bisa menulis. Bahkan untuk berdiri dan mulai membaca kisah-kisahnya pun ia tak lagi kuat.
Orang-orang mulai melupakannya, termasuk penguasa kota ini. Anaknya mencoba untuk mengambil alih pekerjaannya. Ia hafal semua kisah yang ditulis ayahnya, tapi tetap saja ia tak mampu melakukannya. Orang-orang seperti tak tertarik mendengarkan kisah-kisah tentang kotanya. Sang anak masih mencoba beberapa lama. Ia mencoba menggali kisah-kisah baru, tapi ia tak mampu. Sampai beberapa tahun, satu kisah pun tak dapat ia selesaikan.
Pengarang-pengarang dari kota lain, yang dulu sekadar singgah, kemudian melihat kesempatan ini. Mereka datang satu per satu ke kota ini, berharap mampu menjadi sang Pengarang. Mereka mengadaptasi kisah-kisah sang Pengarang. Tapi apa lagi yang dapat mereka ceritakan sekarang? Nasib mereka benar-benar tak jauh berbeda dari anak sang Pengarang!
Selama puluhan tahun, hampir semua kisah tentang kota ini telah dikisahkan oleh lelaki tua itu. Semuanya seakan tak bersisa lagi.
***
Seberapa kuat ingatan kita merajah sebuah kisah? Terlebih bila kisah itu hanya kita dengar sekali-dua kali? Seberapa kuat pula mata kita mengingat kisah-kisah yang kita baca? Bila banyak kisah lainnya juga telah kita baca?
Satu-dua pengarang kemudian berhasil juga melampaui itu. Mereka berkisah tentang pedang dewa yang kemudian berhasil direbut oleh penyihir jahat, atau tentang kisah tiga buah hati yang diletakkan para peri di taman cinta itu, atau tentang dewa yang berhasil menyembuhkan kutukannya dari sebuah pohon.
Orang-orang kembali terpukau oleh kisah-kisah itu. Satu-dua pengarang bahkan mendapatkan kemasyhuran, mendapat gelar sang Pengarang, tanpa menyebutkan sama sekali dari mana kisah mereka berasal. Ini membuat laki-laki tua itu kecewa. Ia memang sudah tua, tapi ia masih mengingat semua kisah yang pernah ia tulis. Bersama anaknya, ia menemui penguasa kota dan mengungkapkan kekecewaannya. Ia meminta penguasa kota tak memberikan gelar pada pengarang-pengarang karbitan itu.
Tapi penguasa kota juga telah setua dirinya. Ia tak berdaya lagi untuk mengabulkan permintaannya. Di sisa hidupnya yang tinggal sebentar, ia tak mau lagi berpikir hal-hal tak penting. Bila penduduk kota senang dengan kisah-kisah baru itu, ia sudah sangat bersyukur. Dengan kekecewaan yang dalam, sang Pengarang akhirnya memutuskan untuk pergi dari kota yang telah dibesarkannya itu.
***
Kisah-kisah dari sang Pengarang lama-kelamaan tak lagi terdengar. Seakan terlupakan. Kisah-kisah tentang kota seperti tak lagi menarik. Beberapa pengarang malah lebih suka menuliskan hal-hal lain yang begitu jauh dari kotanya. Mereka menulis tentang persenggamaan, bahkan tentang makhluk angkasa luar.
Jadi bila sekarang kau datang, kau tak akan lagi mendengar kisah-kisah tentang kota ini. Saat beberapa turis bertanya mengapa taman ini dinamai taman cinta? Mengapa danau di tepi kota ini berwarna merah? Semua guide akan menjawab, “Sudah dari sananya begitu.”
Laki-laki tua itu benar-benar ingin menangis. Itulah yang kemudian membuatnya tidak mau menyerah, walau ia tak lagi bisa melakukan apa pun tanpa bantuan. Maka ketika anak dan menantunya meninggal, ia mempersiapkan cucunya untuk tujuan ini. Ia tahu, cucunya bukanlah bocah sembarangan. Sejak umur 4 tahun ia sudah pandai menulis, bahkan ketika usianya 6 tahun ia sudah fasih berkisah.
Perlahan dengan ketakjuban, ia mulai menceritakan satu per satu kisah yang pernah dibuatnya.
“Kelak kau harus kembali ke kota itu,” ujarnya selalu. “Kau harus menceritakan kisah-kisah ini pada warga kota.”
“Tapi bagaimana aku memulainya?” si cucu tak cukup mengerti.
“Kau cukup membawa alat-alat ini,” ia menunjuk sebuah kotak tempat tambur, trompet, dan beberapa boneka lusuh. “Lalu berteriaklah; woleloho, woleloho, woleloho! Mereka akan datang padamu.”
Si cucu mengerutkan kening tak percaya.
“Mungkin kau tak yakin, tapi teriakan itu sebenarnya adalah mantra pemanggil jiwa. Mantra yang tak pernah kuberikan pada siapa pun, termasuk ayahmu. Harus orang yang istimewa yang meneriakkannya. Aku yakin itu adalah kau.”
Laki-laki tua itu menyentuh pundak cucunya, “Teriakkan mantra itu berkali-kali! Siapa pun yang mendengarnya, kujamin akan menoleh dan mendengar semua ucapanmu!”
Setelah hari itu, sang Pengarang meninggal dunia. Demi menjalankan amanah kakeknya, sang cucu memutuskan untuk datang ke kota itu.
Kala itu umurnya masih 17 tahun. Ia masih gagap dengan keadaan kota yang pikuk. Tapi begitu ia berjalan-jalan ke hampir semua sudut kota, dan mulai melihat taman indah itu, Danau Merah itu, jembatan panjang itu, pohon besar itu, semua yang pernah dikisahkan kakeknya seketika terbayang jelas.
Keberanian membuncah. Keesokan harinya ia datang ke pusat kota. Dibukanya kotak peninggalan kakeknya dengan jantung berdegup. Dikeluarkannya satu per satu barang yang ada di situ. Lalu setelah meniupkan trompet panjang, dan menabuh tamburnya berkali-kali, ia mulai berteriak; woleloho, woleloho, woleloho…. (*)


Yudhi Herwibowo, aktif di buletin sastra Pawon, Solo, telah menulis sejumlah novel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar