Cerpen Dewi Ria Utari (Kompas, 7 Agustus 2011)
DALAM diam aku duduk di taman ini. Di
kursi yang sama tempat kencan kita pertama. Saat itu aku memakai celana
jins berwarna abu-abu pudar, dan kaus berlengan panjang warna putih.
Kau, waktu itu mengenakan celana jins biru tua dengan kaus berlengan
pendek warna abu-abu. Kita duduk bersisian, saling bergenggaman tangan.
Perlahan, kusandarkan kepalaku di bahu kirimu. Pandangan kita sama,
mengarah ke depan ke beberapa remaja yang sedang bermain basket.
Perlahan kau menundukkan kepalamu dan mengecup kuat keningku. Dan
mengalirlah cerita tentang keluargamu.
Kau, tidak bercerita tentang dirimu. Kau, bercerita
tentang ibumu. Kedekatanmu dengan ibu yang melebihi kedekatan dengan
ayah. Bahkan hanya kau satu-satunya yang ibumu minta untuk meneteskan
obat ke telinganya yang sedang sakit. Hanya pada dirimulah ibumu meminta
diantar ke dokter, bukan kepada adikmu atau ayahmu. Keluargamu adalah
dua kubu yang terpisah. Kau dan ibumu, adikmu dan ayahmu. Namun, kalian
tetap baik-baik saja. Kalian telah terbiasa hidup seperti itu. Terbiasa
dengan pertengkaran-pertengkaran kecil yang selesai dengan sendirinya.
Manusia memang seperti itu, kataku. Kita hidup karena terbiasa. Kita
membenci kemacetan jalan raya tapi tetap menerimanya. Karena itu bagian
hidup kita. Kau terdiam seolah mengiyakan.
Taman ini baru pertama kali kau kunjungi. Sementara aku,
sudah puluhan kalinya. Kau terlihat takjub dengan kencan yang
kuciptakan. Kencan yang memang tak ingin kubuat lazim—ke mal, makan,
nonton bioskop, jalan-jalan dalam ruang berpendingin, dan jika masih ada
sisa waktu nongkrong di kedai kopi. Tidak. Aku ingin membuatmu
terkesan. Ingin membuatmu merasa aku berbeda dari orang-orang yang
selama ini pernah kau kenal dalam hidupmu. Aku tahu kamu sangat mudah
berkeringat, hingga kau lebih merasa nyaman di ruangan berpendingin.
Tapi, aku yakin, kau dengan perasaanmu padaku, akan mau mencoba
mengikuti cara kencan ini.
Dan di kursi inilah kita berada saat itu. Melihat warna
langit yang berubah perlahan. Menyaksikan terang beranjak gelap. Minum
segelas air jeruk artifisial seharga seribu lima ratus rupiah.
Mendengarkan suara pengamen yang bernyanyi di kedai makanan dekat taman.
Saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Kau dengan
keluargamu, dan aku dengan impian-impianku.
Kencan kita di taman mengawali sederetan pertemuan kita
selanjutnya. Pertemuan yang tak melulu ideku. Kau, pada akhirnya
terlihat lebih nyaman di ruang berpendingin yang kau anggap satu-satunya
solusi untuk mengatasi ketidaknyamanan dirimu pada tubuhmu yang sangat
mudah berkeringat. Namun, ada hal yang menyentuh hatiku yang kau lakukan
untukku. Sewaktu aku menuju mal tempat kita akan bertemu, kau kaget
sewaktu aku meneleponmu bahwa aku naik bus karena sulit menemukan taksi
yang tidak berpenumpang. Aku turun di seberang mal dan saat menaiki
jembatan penyeberangan, kau sudah ada di tengah jembatan dengan ekspresi
khawatir. Tak kau pedulikan keringat yang membasahi wajah dan rambutmu.
Rupanya kau setengah berlari dari mal untuk menjemputku. Kau segera
memelukku dan berbisik bahwa kau khawatir karena aku naik bus kota. Saat
itu kau begitu tampan dan manis meski wajahku ikut basah oleh
keringatmu.
Kini di sinilah aku berada, di kursi taman yang sama
sambil mengingat saat-saat bersama kita. Saat kita bercinta untuk
pertama kalinya. Saat aku menyadari kenapa aku mencintaimu. Jawaban itu
ada di matamu. Mata yang selalu terbuka saat kau menciumi sekujur wajah
dan tubuhku. Mata yang lebih berbicara banyak hal dari yang terkatakan
oleh bibirmu yang penuh dan lembap. Mata yang membuatku menyerah untuk
menemukan semua penjelasan nalar.
Melihat dan terlihat oleh matamu, membuatku selalu
telanjang. Seharusnya aku ngeri. Karena aku tak lagi memiliki selubung
apa pun. Seolah kota tanpa benteng. Rumah tanpa pagar. Mata itu tak
menyampaikan kata permisi. Langsung masuk melewati pintu utama,
melintasi ruang tamu, tak memedulikan isi dapur, dan langsung masuk ke
ruang tidur tempatku menunggu dengan kepasrahan bulat Ishak yang akan
dikorbankan Abraham kepada Tuhannya.
Kau, lewat matamu, membuatku tak pernah bisa menolak.
Banyak hal yang kautawarkan lewat mata itu. Tentang kebersamaan, tentang
hidup tanpa beban, kebebasan tak berbatas, perjalanan ke ujung pelangi.
Hanya ada kau dan aku. Berdua menyusuri setiap tepi impian. Ya, kaulah
dunia fantasiku. Aku terbebaskan di duniamu.
Sesekali aku harus pulang ke dunia nyata. Saat itulah
aku merindukan teramat sangat pada matamu. Sering kusengaja memejamkan
mata untuk membayangkan saat-saat kita berciuman dan mata kita saling
berpandangan. Kau membiarkanku masuk dalam dunia di dalam matamu. Saat
aku merasakan ketiadaan gravitasi. Ruang angkasa yang tak berbatas.
Namun, kenyataan memang selalu mengempaskan kita kembali
ke tanah. Terbanting keras hingga kadang membuat remuk. Tak peduli
seberapa lamanya kita ingin bersama, kita harus berpisah. Kuharap untuk
sementara, bisikku sambil mengecup pelan lehermu. Kau terdiam, bibirmu
mengerut cemberut. Dan kau pun terpejam, tak membiarkan matamu
menyaksikanku pergi.
Aku tak pernah pergi. Bahkan meski itu hanya untuk
beberapa hari. Bagaimanapun demi pertemuan kita selanjutnya, aku tak
ingin membuat pasanganku jadi bertanya-tanya jika aku pergi lebih dari
satu hari. Ada peran berbeda yang harus kujalankan. Seperti seorang
aktris panggung yang tak bisa menolak peran yang disodorkan sutradara.
Demi kepuasan penonton, aku harus menjalankan peran itu hingga selesai.
Sering kali saat aku menjalankan peranku, kubiarkan
pikiranku melayang menciptakan imajinasi tentang kita berdua ketika
semuanya mungkin berbeda. Aku bisa dengan mudah mengunjungi rumahmu,
mungkin bertemu dengan ibumu, berbincang dengannya tentang masa-masa
kecilmu. O ya, mungkin dia akan memperlihatkan foto-fotomu sewaktu
kecil. Siapa tahu dia akan berkisah tentang kesedihan dan
kekhawatirannya sewaktu tanganmu patah hingga menyisakan segaris bekas
jahitan panjang di lengan kirimu. Dalam hati aku akan berkata kepada
ibumu, aku sering mengecup bekas luka anakmu untuk meringankan sakitnya.
Ada benang jahitan yang masih tertinggal dan membuatnya nyeri setiap
kali sikunya terbentur. Tapi, hal itu tidak kukatakan padanya. Aku tahu
dia bakal lebih banyak berpikir nantinya. Tak baik untuk kesehatan
sarafnya.
Atau bisa juga aku akan menemani ayahmu berkebun.
Mungkin membawakan sekop atau sekadar bercakap-cakap dengannya ketika
dia tengah mencabuti rumput liar. Siapa tahu dia akan bercerita bahwa
sedingin apa pun sikapnya padamu, dia selalu mengkhawatirkanmu. Bahwa di
balik kemarahannya, dia begitu sedih saat kalian bertengkar dan
melihatmu menggenggam pisau. Bahwa sebenarnya dia bangga terhadapmu
sekarang. Dengan pekerjaanmu, dengan cara kamu membantu keuangan
keluargamu, dan cara kamu merawat ibumu.
Bisa jadi aku akan memiliki waktu ngobrol dengan adikmu.
Yang sebenarnya mengagumimu diam-diam. Jika tidak, mana mungkin dia
sampai meminjam kausmu dan sepatumu tanpa izin? Kau begitu marah setiap
kali adikmu meminjam barang-barangmu. Kau yang begitu rapi, memang
sangat berbeda dengan adikmu yang terkesan sembarangan. Namun, tahukah
kau, dia sebenarnya segan terhadapmu, dengan cara yang belum
kaumengerti.
Kubayangkan aku mungkin akan memasak untuk seluruh
keluargamu. Tumis spaghetti daging asap dengan irisan cabe rawit yang
kausukai. Atau garang asem ayam yang akan sangat mudah kubikin karena
aku tinggal memetik belimbing keris di halamanmu untuk menciptakan rasa
asam yang segar. Dan saat semuanya terhidang, aku akan menunggui kau dan
keluargamu untuk mencicipinya terlebih dahulu dan merasakan gelenyar
hangat di dadaku ketika mereka menyukainya. Saat itu kau akan mengecup
keningku dengan rasa bangga dan sayang tak terkira.
Tahukah kau, semakin hari aku semakin merasa ilusi itu
semakin mendesak ke permukaan. Bergerak seolah magma yang menyusup
celah-celah kerak bumi mencari kepundan yang siap meletuskannya. Aku
sekuat tenaga mencoba menahan lava itu untuk tetap berada di dasar bumi.
Entah untuk berapa lama.
Suatu hari aku mulai menyadari matamu mulai terpejam.
Kau menciumku dengan mata terpejam. Kau memejamkan matamu saat menyentuh
sekujur tubuhku, saat mengelus rambutku, saat mengecup leherku, saat
tubuhmu menegang, mengeratkan pelukanmu. Kau menutup matamu.
Saat kau membuka matamu, labirin yang biasa kutelusuri
tak lagi sama. Dulu, labirin itu tak pernah menyesatkanku. Labirin itu
menuntunku menyusuri kelokan-kelokan yang kukenal, menuju sebuah taman
yang sama tempat kencan pertama kita. Hanya saja taman itu tak
berpenghuni. Lebih hijau, lebih sejuk, hingga tak membuatmu berkeringat.
Di taman itu kita duduk di bangku yang sama, saling bergenggaman
tangan, dan aku selalu duduk di sebelah kirimu. Kusandarkan kepalaku di
bahu kirimu. Tangan kiriku perlahan mengelus bekas luka di lengan
kirimu. Kita sama-sama terdiam. Sunyi. Hening. Hanya bunyi napas kita di
taman itu.
Kini labirin itu tak mengantarkanku ke mana pun. Aku
berusaha menyusuri setiap kelokan, tapi tak kunjung kutemukan taman itu.
Labirin ini memerangkapku. Tersesat membuatku sesak napas. Aku
tersengal.
“Kau sakit?” tanyamu sambil membelai pipiku.
Aku menggeleng. Aku kembali berusaha melihat matamu.
Namun, aku kembali mengalami kejadian yang sama. Tersesat dan tak bisa
bernapas.
“Ingatkah kau dengan taman tempat kita berkencan pertama kali?” tanyaku.
Kau mengangguk.
“Itu saat terindah buatku,” kataku.
“Buatku juga, Sayang,” ujarmu sambil mendaratkan ciuman di bibirku. Dengan mata terpejam.
Dalam hati, aku berteriak. Terbukalah! Aku ingin kau
memandangku seperti dulu lagi. Aku tak tahu siapa yang ada di matamu
jika kau terpejam seperti itu! Biarkan hanya aku yang kau lihat.
Namun, kau tetap terpejam.
“Maukah suatu hari kita kembali ke taman itu?” tanyaku.
Kau mengangguk.
Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di bangku yang sama
di taman tempat kita pertama kali berkencan. Sore ini tak ada
remaja-remaja yang bermain basket. Namun, masih ada penjual minuman air
jeruk artifisial yang dulu. Kulihat ada seorang lelaki 40 tahunan yang
mengajak seekor anjing husky berjalan-jalan. Lihatlah, anjing itu begitu
besar dan sepertinya jinak.
Di bangku ini, aku duduk dengan kedua tanganku berada di
atas pangkuanku. Kali ini aku tidak memakai celana jins abu-abu dan
kaus lengan panjang warna putih. Aku memakai rok terusan warna biru
pucat. Perlahan kubuka kedua tanganku yang sedari tadi tergenggam.
“Lihatlah, Yank. Taman ini masih sama seperti dulu. Kau
lihat sendiri kan, penjual minuman itu masih sama. Kali ini tidak ada
yang bermain basket. Pengamen di sana masih bernyanyi seperti dulu,”
ujarku perlahan. Kupandangi kedua telapak tanganku yang basah bersimbah
darah. Menetes hingga menodai kain rokku. Di situlah, di kedua telapak
tanganmu, kuletakkan matamu. Terbuka utuh. Sepenuhnya. Hanya memandangku
dan memandang taman kita berdua. (*)
.
.
Jakarta, 2 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar