Cerpen Dadang Ari Murtono (Republika, 13 November 2011)
DI kampung itu, tidak ada yang tidak
tahu Kaji Ali. Bukan karena lelaki setengah baya dengan kumis tipis
serta berjenggot tebal dan panjang itu adalah satu dari tiga orang di
kampung yang sudah sampai Makkah pada musim haji, melainkan juga karena
kedermawanannya. Dia adalah orang yang paling ‘ringan’ tangan. Dia tak
segan mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah untuk renovasi masjid. Dia
tak ragu menyumbangkan berkarung-karung semen untuk membantu Mak Ijah
(janda miskin yang rumah gedeknya roboh sewaktu angin kencang datang
beberapa bulan yang lalu) dan memperbaiki rumahnya. Dan, dialah tujuan
keluh orang-orang yang sedang kesulitan keuangan. Dia memberi mereka
pinjaman. Dan, tak pernah menagihnya.
Beberapa orang yang beriktikad baik, pada akhirnya
memang membayar. Tapi, tak sedikit pula yang melupa-lupakan bahwa mereka
punya utang. Kaji Ali tidak mempermasalahkannya. Dan tanpa sungkan,
mereka yang suka melupa-lupakan itu, akan datang lagi bila membutuhkan
bantuan lagi.
“Dia benar-benar calon penghuni surga,” gunjing orang-orang.
Kaji Ali beberapa kali mendengar ucapan itu. Dan, dia
hanya bisa tersenyum karenanya. Senyum yang segera berubah menjadi
tundukan. Lalu berkata lirih, “Tolong, berhentilah membuat saya menjadi
sombong. Segala kesombongan adalah milik Tuhan semata.”
Dan, satu lagi yang membuat Kaji Ali lebih dihormati dan
disegani orang daripada dua kaji yang lain. Yaitu, Kaji Ali telah dua
kali sampai Makkah.
Sementara, dua kaji lainnya baru sekali. Lidah orang
kampung itu memang lebih gampang mengucap kata kaji daripada haji. Oleh
sebab itu, setiap orang yang sudah sampai Makkah, diembel-embeli kata
kaji, bukan haji.
Semua orang tahu tentang Kaji Ali. Dan setiap menyebut
soal Kaji Ali, orang-orang juga akan langsung teringat pada sehelai
karpet. Karpet yang ajaib. Karpet yang mempunyai riwayat demikian:
Sebelumnya, barangkali sebagian besar penduduk kampung
lupa untuk apa masjid di kampung itu dibangun. Barangkali sebagian besar
penduduk itu hanya menganggap kehadiran masjid hanya sebagai pelengkap
kepantasan kampung. Atau sekadar simbol bahwa kampung itu adalah kampung
yang beragama. Ketika tiba waktu Maghrib, hanya ada dua saf yang
berjamaah di sana. Isya satu setengah saf. Subuh lebih parah lagi.
Setengah saf. Zhuhur kadang hanya diisi oleh dua orang: imam dan si
tukang azan. Ashar lebih baik. Satu saf. “Mengapa orang malas berjamaah
di masjid?” gumam si imam.
Banyak sudah usaha si imam untuk meramaikan masjid,
untuk menarik minat orang datang ke masjid. Mulai dari mengundang kiai
terkenal dari kota untuk memberi ceramah. Atau menyediakan camilan
gratis bagi mereka yang hendak iktikaf. Tapi, usaha-usaha itu tidak
membuahkan hasil. Penduduk lebih suka bergelung di kasur daripada ke
masjid. Atau bekerja di sawah. Lebih menghasilkan pemasukan, kata
orang-orang itu.
Hingga suatu kali, Kaji Ali datang membawa karpet.
Karpet berwarna merah. Karpet yang mampu menutupi seluruh lantai masjid.
Karpet yang konon berharga sangat mahal dan hanya bisa dibeli di kota
dengan terlebih dulu memesan dan perlu waktu hampir tujuh bulan untuk
menyelesaikan pembuatan karpet itu. Karpet yang ajaib. Karpet yang
menguarkan bau harum minyak misik. Karpet yang membuat siapa-siapa yang
mendudukinya betah berlama-lama. Dan, karpet itu begitu empuk. Bisa
bergerak-gerak pula. Gerakan yang serupa pijitan. Dan, mampu melenyapkan
pegal-pegal, encok, rematik, dan linu-linu.
Awalnya, banyak yang tidak percaya kepada keajaiban
karpet itu. Demikian juga si imam. Tapi, meski tak percaya, si imam
akhirnya mencoba juga duduk di atas karpet itu. Dan sungguh, rematik
bertahunnya hilang seketika. Demikian pula ketika si tukang azan
mengeluh pegal-pegal. Langsung lenyap itu pegal-pegal. Berita cepat
tersebar di kampung sekecil itu. Ada orang kentut di pinggir kampung
sebelah utara, semenit kemudian, orang yang rumahnya di pojok selatan
kampung sudah mendengarnya. Begitulah. Maka, bukanlah suatu keajaiban
jika kabar tentang karpet Kaji Ali itu memiliki kelebihan yang luar
biasa.
Orang-orang berbondong-bondong ke masjid. Awalnya,
mereka hanya iseng melihat karpet itu, lalu tertarik duduk-duduk di
sana. Terutama, mereka yang punya linu atau rematik. Dan yang
pegal-pegal, setelah seharian kerja di sawah. Tentu saja, karena karpet
itu berada di dalam masjid, orang-orang yang berbondong datang untuk
membuktikan kehebatan karpet itu, mau tidak mau, mesti sembahyang
berjamaah pula ketika tiba waktu shalat.
Masjid menjadi ramai. Menjadi semarak lagi. Maghrib,
jamaah sampai luber ke halaman. Isya tetap penuh. Subuh ramai sekali.
Dan, orang-orang menyempatkan pulang dari sawah untuk shalat Zhuhur dan
Ashar. Orang-orang berkata, “Sungguh ini karomah. Kaji Ali itu wali.
Oleh sebab itu, ia bisa mempunyai karpet seperti ini.” “Tapi, katanya
karpet ini beli di kota,” saut yang lain.
“Apa kau percaya kabar itu? Itu tidak masuk akal. Itu
pasti alasan Kaji Ali agar orang-orang tidak menganggapnya punya karomah
seperti wali. Dia orang yang rendah hati dan tak suka dipuji-puji.
Kalau kau tak percaya, pergilah ke kota dan temukan pabrik yang bisa
membuat karpet seperti ini. Sampai padas hitam mengapung di air pun, kau
tak bakal menemukan pabrik itu.” “Ya, ya. Kau benar.”
Maka, orang-orang mulai menganggap Kaji Ali sebagai
wali. Kaji Ali jadi sering diminta mengisi ceramah. Berkhotbah pada
shalat Jumat. Memimpin tahlilan. Dan, segala kegiatan yang berhubungan
dengan masalah keagamaan. Orang-orang semakin yakin bila Kaji Ali
benar-benar wali sebab ternyata Kaji Ali pintar bicara Arab. Pintar
mengutip hadis-hadis. Hafal hampir seluruh ayat dalam kitab suci.
Suaranya merdu pula.
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui orang-orang
tentang Kaji Ali. Pekerjaannya. Sepertinya, Kaji Ali tidak mempunyai
pekerjaan. Dia tidak ke sawah seperti penduduk kampung yang lain. Juga
tidak memiliki toko, apalagi perusahaan. Hampir tiap hari Kaji Ali
berdiam di rumah. Meski sesekali, orang-orang melihat Kaji Ali keluar
kampung. Pergi berhari-hari. Tak ada yang tahu ke mana Kaji Ali pergi
selama berhari-hari itu.
Dulu, pernah ada yang nyeletuk di warung, “Jangan-jangan
Kaji Ali memelihara tuyul sehingga meski tidak bekerja, dia bisa dua
kali sampai ke Makkah.” Dulu, banyak yang percaya dengan prasangka
seperti itu. Tapi kini, keadaan berubah. Orang-orang akan menyaut
demikian bila ada orang yang mengatakan Kaji Ali memelihara tuyul:
“Hush! Jangan ngomong sembarangan sampeyan. Sampeyan bisa
kualat. Kaji Ali itu wali. Malati. Dia bisa pergi ke Makkah sampai dua
kali dan selalu punya banyak uang, ya karena karomahnya itu. Konon, Kaji
Ali bisa mengubah batu menjadi emas.”
“Seperti Kanjeng Sunan Bonang?”
“Iya. Bener itu.”
Dan setiap menyebut karomah, orang-orang akan menyebut
pula perihal karpet ajaib. “Itu adalah bukti paling nyata dan tak bisa
dibantah bahwa Kaji Ali itu mempunyai karomah.”
Hingga suatu kali, orang-orang dikejutkan dengan berita
yang datang pada suatu pagi. Berita yang sampai dengan cepat. Secepat
angin yang merobohkan gubuk Mak Ijah. Kabar yang membuat orang-orang
tertegun, lalu merasa sedih dan menangis. Seakan tak percaya. Kaji Ali
mati setelah beberapa hari sebelumnya pergi tanpa pamit dari kampung
seperti kebiasaannya. Mati dengan tubuh gosong. Mati di kota kabupaten.
Kata si pembawa kabar, Kaji Ali tertangkap tangan sewaktu membobol toko
emas di kota kabupaten itu. Kaji Ali berusaha melarikan diri, tapi
pengejarnya sangatlah banyak. Kaji Ali terperangkap di sebuah gang
buntu. Tidak bisa ke mana-mana. Seperti tikus yang terperangkap. Dan,
orang-orang yang marah itu, menempelengnya. Menendanginya. Menancapkan
pisau dan menimpakan batu. Juga mendaratkan pukulan tongkat kayu.
Kaji Ali sudah tak jelas lagi rupanya ketika seseorang mengguyurkan sebotol bensin ke tubuhnya. Lalu menyulut korek.
“Benarkah cerita itu?” gumam si imam. Masih tak percaya.
Gumam yang sebenarnya juga ada di benak setiap penduduk kampung. Gumam
yang akan dilanjutkan dengan kalimat: bukankah Kaji Ali itu wali? Tapi,
si pembawa kabar bersumpah bahwa kabarnya itu benar belaka. Dan,
keragu-raguan penduduk kampung berubah menjadi keyakinan yang sangat
ketika keesokan harinya, beberapa penjual koran berkeliling kampung
sambil berteriak-teriak: Kaji dibakar ketahuan mencuri. Kaji dibakar
hidup-hidup.
Ayo, beli korannya. Beli korannya. Karpet itu masih
terbentang di masjid. Dan, orang-orang memandang karpet itu dengan
pandangan yang tak lagi sama seperti dulu. Dan, tak ada lagi yang
bertanya: apa sebenarnya pekerjaan Kaji Ali? (*)
.
.
Dadang Ari Murtono lahir dan tinggal di Mojokerto.
Sebagian tulisannya pernah terbit di beberapa surat kabar, majalah, dan
jurnal. Sebagian yang lain menjadi bagian dari antologi bersama, seperti
Medan Puisi, Pasar yang Terjadi pada Malam Hari (antologi penyair mutakhir Jawa Timur 2), dan Manifesto Illusionisme. Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar