Minggu, 24 Juli 2016

Pelabuhan Matahari

Cerpen Zelfeni Wimra (Media Indonesia, 5 Mei 2013)
Pelabuhan Matahari ilustrasi Pata Areadi
SEMUA orang tahu, ia yang pertama kali menamai garis langit barat dengan pelabuhan matahari. Katanya, matahari akan menenggelamkan dirinya di sana bersama orang-orang yang hidupnya bahagia. Matahari akan menyemburkan semburat warna saga. Sewarna keriangan yang bersembunyi dalam setiap bahak tawanya.
Setiap senja ia akan mengasyiki bayang-bayang tubuhnya yang memanjang. Berdiri berhadapan dengan pohon beringin di sebelah barat terminal. Seolah memeriksa siluet matahari yang menyembul di sela daun beringin. Ia melambai-lambai bagai melepas anak dagang meninggalkan halaman.
Wajahnya mengeriput sendu. Matanya basah. Itulah saat ia tak bisa disapa. Bila disapa, akan dibalasnya dengan rengekan tinggi, mirip bocah kehilangan mainan. Entah apa maksudnya. Seterminal ini tak ada yang tahu.
Saat hari telah gelap, kerut wajahnya menjadi garis rintihan. Dari hidungnya terdengar sengukan ingus dan embusan tangis. Berlanjut sampai ia letih dan tertidur di bangku panjang, ruang tunggu penumpang, bersebelahan dengan kedai nasi ibuku. Sebelum benar-benar tertidur, rintihannya terus terdengar. Aku yang masa itu hanya setiap malam Minggu menemani ibu bermalam di kedai nasi kami, pertama kali merasa ngeri. Tak bisa tidur aku dibuatnya.
“Kamu terganggu oleh rintihan Malin Sirah itu? Tutup telingamu,” kata ibu. Tapi seiring waktu aku pun terbiasa. Apalagi setelah aku tamat SMA dan nyaris setiap malam menemani ibu di kedai karena belum mungkin melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.
Saat bulan purnama, rintihannya berganti senandung. Laki-laki yang usianya tidak begitu tua dariku itu kadang bernyanyi-nyanyi. Mendendangkan cerita dengan irama yang entah dari mana dipetiknya. Ia seperti mengadu pada bulan yang sedang penuh. Dalam senandung, sering ia sebut beberapa nama kenalannya di Terminal Pasakabau.
Ia menyebut nama Jasman yang tak lain adalah ayahku, sopir malam yang sering berganti istri. Sopir gendut yang entah di mana keberadaannya kini. Mungkin dia sudah ditangkap orang pelabuhan matahari dan dipenjara dalam terali api, akibat ulahnya meninggalkan anak-istri. Disebutnya pula kisah ibuku, Nurmila, perempuan penjual nasi yang pandai memasak, namun harus menjanda setelah ditinggal Jasman, sopir gendut yang celaka.
Tinggallah Nurmila dengan seorang anak gadisnya yang berparas indah. Sesuai namanya: Indah. Terminal ini juga indah karenanya. Saat mendengar itu, aku tak kuasa menahan tawa geli.
Jika malam diguyur hujan, senandungnya berganti lagi. Ia seperti berpidato. Makin lebat hujan itu, makin keras pidatonya. Bila hujan hanya rintik-rintik, pidatonya pun melunak. Itulah saat ia seperti orang kecewa. Sering dikatakannya dalam pidato itu perangai pengurus masjid terminal yang suka menumpuk sumbangan guna membeli bensin sepeda motornya. Juga, anak-anak muda yang memeras pengunjung masjid dengan pungutan parkir. Parkir kendaraan dan parkir sepatu-sandal.
Lain pula halnya ketika subuh memerah di ufuk timur. Ia begitu girang. Lambaian tangannya penuh tenaga. Itulah saat ia sangat ramah. Siapa yang melintas di dekatnya, akan selalu disapanya dengan senyum hangat. Kemeja panjang dari bahan transparan yang selalu dibukanya setiap senja tiba akan dipakainya dengan rapi.
Rokok keretek berbungkus merah dan berhelai uang seratus rupiah yang juga berwarna merah terlipat di saku bajunya. Sebuah siulan dan dekak akan melompat dari mulutnya setiap akan menyapa orang. Apalagi ketika menyapa anak gadis sepertiku.
Semula aku kecut, tapi lama-lama terbiasa. Ibuku justru cemas ketika aku sudah terbiasa dengan perlakuannya.
“Jangan sering-sering tersenyum padanya. Nanti kamu diterkamnya,” kata ibu. Ia belum pernah jahat pada anak gadis, tapi pesan ibu, lebih baik berhati-hati.
Di saat ia sedang ramah begitu, kepada siapa saja yang mau mendengar, akan ia ceritakan bahwa mendiang ibunya sering menceritakan nenek moyang mereka berasal dari pelabuhan matahari. Setiap orang akan heran: di mana pula pelabuhan matahari itu?
Di Terminal Pasakabau, tempat penyalinan penumpang yang datang dari berbagai pelosok kabupaten kami, hanya sopir-sopir yang keletihan mengemudikan bus yang sangat pandai dan berani akrab dengannya. Para sopir suka memanggilnya Malin Sirah dan memintanya memijat bahu mereka.
Nama aslinya Junalis, tapi karena ia suka uang kertas berwarna sirah, ia digelari Malin Sirah. Dalam bahasa kami, merah disebut sirah.
Di mana terdengar gelegar tawa, di sanalah Malin berada. Ia akan memijat para sopir itu bergantian sambil bernyanyi dengan caranya sendiri. Hanya senandung, dengung, dan kadang-kadang diselingi beberapa kata yang aneh. Tak jarang pula disertai cerita tentang orang-orang terminal yang menurutnya ganjil dan patut diceritakan.
Setiap kisahnya selalu berlatar pelabuhan matahari. Kelakuannya itu selalu membuat orang tak mampu menahan tawa. Jadi, bukan hanya pijatannya yang ditunggu-tunggu. Kecandan dan gurauannya pun dinanti-nanti. Para sopir tak merasa rugi memberinya sejumlah uang kertas. Tapi ia hanya mau menerima uang kertas seratus rupiah berwarna merah. Diberi uang seribu atau sepuluh ribu, ia tidak akan mau.
Inilah pangkal mula Malin Sirah kecewa, ketika sopir-sopir yang dipijatinya tidak lagi memberinya uang kertas seratus rupiah. Pemerintah kami tidak lagi memproduksi uang kertas seratus rupiah berwarna merah. Sekarang sudah diganti koin tembaga.
Para sopir sudah menjelaskan. Malin Sirah tidak percaya. Ia merasa didustai. Ia menganggap para sopir itu sebenarnya tidak mau lagi memberinya uang kertas merah. Begitu juga kepada semua orang di terminal yang sering memberinya uang, ia merasa ditipu. Tak ada lagi orang yang ia anggap peduli dan bersahabat dengannya. Para sopir itu adalah orang-orang Terminal Pasakabau yang hatinya buta seperti hati kerbau.
Hati mereka tidak sebaik dan sehangat orang-orang pelabuhan matahari. Ia tidak percaya pemerintah tidak lagi mencetak uang kertas merah. Pemerintah tak mungkin begitu tega padanya.
Gara-gara itu barangkali Malin Sirah tidak pernah lagi kelihatan di Terminal Pasakabau. Tak ada yang tahu ke mana Malin Sirah pergi. Bagi kami yang rindu kelakar dan gelak tawanya, setiap kali berada di terminal ini, terasa ada yang kurang. Apalagi bagi pedagang kelontong yang sekali seminggu belanja barang dagangan di Pasar Payakumbuh.
Biasanya, Malin Sirah dengan senang hati, sambil bernyanyi-nyanyi, akan membantu pedagang-pedagang itu mengangkut belanjaan dengan upah murah, hanya selembar uang kertas seratus rupiah.
Kebanyakan orang menganggap Malin anak terbuang yang telantar di terminal, mengalami gangguan jiwa setelah orangtua tiada dan sanak famili mengabaikannya. Bagiku, tanpa Malin Sirah, ada ruang yang terasa sunyi dalam perasaanku. Deru mesin angkutan umum yang datang dari berbagai pelosok kampung di kabupaten terdengar seperti gerutuan hambar sejak Malin Sirah tak pernah lagi tampak batang hidungnya.
Keriuhan lalu-lalang orang yang biasanya membuat hati menjadi hangat, tiba-tiba lesu. Kadang melintas bayangan tubuh ringkihnya yang dibalut baju kemeja putih tipis dan ketat. Sebungkus rokok berbungkus merah dan berhelai uang seratus rupiah terlipat rapi di saku bajunya yang transparan. Terngiang senandungnya mengenai perangai orang-orang yang dikenalnya.
Gara-gara kegemarannya menyenandungkan perangai orang ini, ia menjadi penghalang bagi orang untuk berbuat ganjil. Kalau Malin tahu, ia pasti akan menyenandungkan perbuatan orang itu, tengah malam atau saat memijati para sopir.
Pernah terdengar kabar, Malin berjalan ke arah barat. Ketika ditanya ia mau ke mana, ia menjawab ketus: ke pelabuhan matahari! Sebagian lagi mengatakan ada yang menemukan Malin berjalan ke arah timur. Ketika disapa ia mau ke mana, ia menjawab lebih ketus: menjemput matahari! Entah mana kabar mana yang benar.
Kini, setelah 20 tahun berlalu, kabar tentang Malin tidak lagi menjadi bagian dari obrolan orang di terminal ini. Semua berubah. Kehidupan seakan bergerak ngebut, putarannya lebih kencang dari roda-roda yang datang dan pergi di terminal ini. Aku sudah hampir lupa pada Malin Sirah. Anakku sudah empat. Tiga dari suamiku yang pertama. Satu, si bungsu, dari suamiku yang terakhir.
Mengapa suami pertamaku menceraikanku dan mengapa pula suamiku yang sekarang sudah sering tidak pulang adalah gulungan cerita yang panjang. Andai Malin Sirah masih ada, tentu ia akan menyenandungkannya.
Tentu ketika malam menjelang, akan ia kabarkan pada bangku-bangku ruang tunggu penumpang perihal hidupku yang penuh liku. Atau bila hujan, Malin akan berpidato, mengutip kisah hidupku, mengutuk perangai laki-laki yang pernah menjadi suamiku, seperti dulu ia menyumpahi kelakuan ayahku. Tapi, Malin Sirah mungkin tak akan pernah kembali ke terminal ini. Cerita tentang hidupku pada waktunya akan tenggelam seperti cerita Malin Sirah, terbenam seperti kisah orang-orang pelabuhan matahari. (*)


Padang, 2013
Penulis bergiat di kelompok kajian Magistra Indonesia. Buku cerpennya, Yang Menunggu dengan Payung (2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar