Cerpen Agus Noor (Kompas, 28 Juli 2013)
ADA kisah yang selalu diingat dengan gemetar oleh orang-orang
kampung Jatilawang setiap menjelang Ramadhan. Bukan kisah tentang
nabi-nabi. Tapi wabah ulat bulu. Malapetaka bertahun lalu yang terjadi
setelah pembantaian orang-orang yang dituduh komunis di kampung itu.
Mereka mati dengan cara paling mengerikan. Ditangkap dan diseret ke
pinggiran hutan jati, sebagian ditembak, digorok, atau dihajar kepalanya
hingga remuk dengan batang kayu jati. Tak ada anak yang tak menjadi
yatim setelah pembantaian itu. Kekejian memang tak pernah bisa
dilupakan.
Angin kering merayap pelan dari arah hutan jati yang mengelilingi
kampung, mengembuskan bau ganjil yang sebelumnya tak terkenali. Seperti
bau kayu yang membusuk dalam tanah, tetapi bercampur amis darah yang
memualkan perut dan membuat gatal hidung. Orang-orang mengingatnya
sebagai musim yang ganjil. Mestinya sudah penghujan. Tapi kekeringan
justru mulai merontokkan daun jati. Dan sekitar seminggu sebelum bulan
puasa di tahun 1965 setelah pembantai itu, penduduk yang masih dicekam
kecemasan semakin dirayapi kengerian ketika ribuan ulat bulu menyerbu
kampung. Ulat bulu hitam hampir sebesar jempol orang dewasa tak hanya
terlihat di pohon kelapa, pisang, atau pepaya di pekarangan, tetapi
dengan cepat menempel di tembok-tembok rumah. Di pintu dan jendela.
Bahkan menyerbu ke dalam rumah. Menempel di kursi, merayap di meja
makan, di kolong ranjang dan bantal. Udara terasa kental dengan
bulu-bulu ulat yang rontok. Membuat mereka bersin-bersin dan kulit
seketika menjadi gatal. Semakin digaruk, rasa gatal itu justru semakin
menjalar ke seluruh tubuh. Kulit penuh bentol-bentol merah memar. Mereka
mencoba menghilangkannya dengan melulurkan air garam atau minyak kelapa
ke tubuh, tetapi rasa gatal yang makin perih membuat kulit tambah
membengkak. Bahkan rasa gatal itu terasa kian mencakar ke dalam jantung.
Seolah jantung mereka sudah penuh ulat bulu. Bagaimana caranya
menggaruk jantung yang gatal?
Tak pernah terjadi wabah ulat bulu sebelumnya. Tak bisa menepiskan
bayangan buruk, para penduduk kemudian mengaitkan munculnya ribuan ulat
bulu itu dengan orang-orang yang mati terbantai. Apalagi ketika Dalmiji,
orang dekat tentara yang menjadi algojo pembantaian di kampung itu,
ditemukan mati mengenaskan. Kulitnya penuh bintik hitam, bengkak, dan
mata terbelalak. Dari kelopak matanya keluar puluhan ulat bulu hitam.
Beberapa orang kemudian ditemukan mati dengan kondisi yang sama, setelah
sebelumnya meraung-raung kesakitan berguling-guling di tanah sembari
terus menggaruki seluruh badan, seakan ada ulat bulu merayap di bawah
kulitnya.
Ulat bulu ini kutukan, kata orang-orang. Ini seperti pageblug. Orang
yang diserang rasa gatal pada pagi hari, mati malam hari. Semua
pepohonan dengan cepat meranggas. Ribuan ulat bulu itu memakan seluruh
daun yang ada. Orang-orang mengumpulkan belarak yang tersisa, dan
membakar ribuan ulat bulu dengan daun kelapa kering itu. Tapi ulat-ulat
itu tak mati. Begitu dibakar, ulat-ulat itu justru seperti bertambah
banyak. Setiap seekor ulat terbakar, dari abunya justru bermunculan
banyak sekali ulat.
Ulat-ulat ini seperti lahir dari kebencian, seseorang berkata.
Kebencian tak pernah bisa mati oleh api. Dan penduduk Jatilawang hanya
gemetar pasrah ketika menyaksikan kawanan ulat bulu itu semakin menggila
jumlahnya. Beras yang disimpan dalam karung, penuh ulat bulu. Sayur di
meja makan dirayapi ulat bulu. Perigi di pinggir kampung, tempat mereka
mandi, penuh ulat bulu berkerugetan seperti lintah yang mengambang. Air
yang mereka minum menjadi gatal. Nyaris seluruh tembok rumah tertutup
ulat bulu. Orang-orang menatap tembok rumah mereka seolah terbuat dari
lempung lembek dan berdenyut, ketika ulat-ulat itu bergerak pelan. Di
tanah kering berdebu karena kemarau yang salah musim, gerombolan ulat
menutupi seluruh jalanan kampung, hingga penduduk melangkah dengan takut
dan jijik karena pasti menginjak ulat-ulat itu. Dari tubuh ulat yang
mati terinjak keluar cairan hitam kental berbau menyerupai nanah. Di
malam hari, ketika cahaya bulan menimpa perkampungan, bulu-bulu hitam
ulat itu terlihat berkilatan.
Kampung seperti diselubungi cairan hitam karena seluruhnya tertutup
ulat bulu. Seluruh batang pohon tertutup ulat bulu hitam hingga ke ujung
cabang-cabangnya. Atap-atap rumah dipenuhi ulat bulu. Segalanya menjadi
tampak menghitam. Juga hutan jati yang mengelilingi kampung itu. Tiap
batang pohon jati tertutup ulat bulu. Hutan jati itu menjadi hutan hitam
yang begitu mengerikan. Tak ada pemandangan yang begitu hitam melebihi
hitamnya hutan jati yang telah menjadi begitu mengerikan oleh jutaan
ulat bulu. Seakan-akan di tengah-tengah kehitaman hutan jati itu hidup
arwah-arwah penasaran yang haus mengisap darah siapa pun yang berani
memasukinya.
Ketika ketakutan sudah menjadi lebih mengerikan dari datangnya maut,
beberapa penduduk Jatilawang yang sedang memasrahkan nasibnya dengan
berdoa di makam keramat yang terletak di perbukitan batas dengan hutan
jati, melihat ada bayangan seseorang berjalan—seolah-olah
melayang—memasuki hutan jati yang menjadi semakin terlihat mengerikan di
malam hari. Hanya orang yang mau bunuh diri yang berani memasuki hutan
jati hitam.
Malam itu, di bawah cahaya bulan yang begitu murung dan pucat seperti
mata yang putus asa, samar-samar terlihat seseorang berdiri di atas
selembar daun jati yang melayang, seolah selembar daun jati itu karpet
terbang. Dengan gerakan ringan, orang itu menebahkan selempang sorbannya
ke arah pepohonan jati, dan seketika gerombolan ulat bulu hitam
langsung lenyap. Sosok yang berdiri di atas selembar daun jati itu terus
melayang dan melesat menggerakkan tangannya, seperti menghantam dan
menampar kekosongan udara, dan kadang seperti menangkis sebuah serangan
kasatmata yang menghantam ke arahnya. Selempang sorban orang itu terus
menyambar menghantam ribuan ulat bulu hitam yang melesat menyerang dan
mengepungnya.
Saat itu, orang-orang yang menyaksikan percaya, bahwa tengah terjadi
pertempuran mahadahsyat antara orang bersorban itu dengan kekuatan yang
tak bisa dilihat, tapi bisa mereka rasakan dari embusan angin yang
tiba-tiba menjadi menggemuruh menggetarkan pohon-pohon jati. Suara
batang-batang pohon jati yang bergemeretak terdengar seperti lolong
panjang kemarahan penuh kebencian. Berkali-kali terdengar gemuruh
meledak di udara. Makin lama mereka hanya bisa melihat kelebat bayangan
yang begitu cepat, menjelma pusaran beliung yang menerbangkan semua ulat
bulu itu ke udara, dan lenyap.
Kesunyian mengental menjadi ketakutan. Hutan jati telah bersih dari
ulat bulu, tapi terasa ada yang tetap belum bisa dibersihkan.
Pertempuran belum selesai. Ini bukan pertarungan yang bisa dilihat
dengan mata. Orang bersorban itu masih berdiri di atas selembar daun
jati yang mengapung tenang di udara, menatap ke satu pohon jati, di mana
terlihat seekor bulu menggelantung di ujung ranting. Cahaya bulan
membuat ulat bulu di ranting itu terlihat seperti mata hitam, yang
menatap tajam ke arah orang bersorban. Keduanya diam saling pandang.
Nyaris berjam-jam tak bergerak. Mereka seperti berada dalam kekosongan
yang membuat setiap gerakan sekecil apa pun menjadi tak berguna.
Sayup-sayup, orang-orang hanya mendengar pecakapan antara keduanya. Ulat bulu dan orang bersorban itu.
”Siapakah kamu?”
”Saya bukanlah apa yang Kisanak lihat. Sekiranya Kisanak bisa melihat apa yang tidak terlihat, maka Kisanak tahu siapa saya.”
”Tak ada siapa pun yang tahu, kecuali diberi tahu apa yang sepatutnya ia ketahui. Apa yang kau inginkan?”
”Hanya mereka yang terikat dunia yang memiliki keinginan.”
”Kalau begitu, hentikan kemarahanmu.”
”Saya tak lagi memiliki kemarahan, Kisanak….”
”Wabah ini hanya menyengsarakan semua orang.”
”Apalah arti kesengsaraan bagi orang yang mengharapkan keadilan, Kisanak. Mereka sendiri yang membuat wabah itu.”
”Allah Mahapengampun. Maka mulialah orang yang memaafkan….”
”Memaafkan bukan berarti meniadakan kesalahan. Keadilan hanya mungkin bila kesalahan tidak hanya dimaafkan.”
”Kita tak berhak menghakimi kesalahan orang.”
”Sampaikan itu pada orang-orang yang melakukan pembantaian, Kisanak.”
”Tapi tidak semua orang mesti menanggung kesalahan.”
”Diam dan membiarkan terjadinya kejahatan adalah kejahatan orang-orang yang lemah iman.”
”Gusti Allah ora sare. Tuhan tidak tidur. Saat ini, berilah kesempatan orang-orang itu berpuasa dengan tenang.”
”Apakah mereka juga berpuasa dari kebencian?”
Lalu keheningan yang panjang dan bagai tiada akan pernah berakhir
menaungi hutan jati itu. Ulat bulu itu masih menggelantung di ranting.
Orang bersorban itu terus berdiri di atas selembar daun jati. Tak ada
suara apa pun yang terdengar. Percakapan keduanya seperti hanya terjadi
dalam batin masing-masing. Ini memang bukan perkelahian raga, tapi
pertempuran batin. Pertarungan dalam keheningan. Seakan menguji
ketangguhan batin masing-masing. Lalu terdengar suara gemerak dari ujung
ranting. Tak terlihat lagi ulat bulu itu. Hanya ada kepompong yang
tergelantung. Kemudian, perlahan kepompong itu merekah, dan keluar
seekor kupu-kupu yang langsung terbang di bawah temaram cahaya bulan
yang bagai tergetar oleh kepakan sayap kupu-kupu itu. Tak ada lagi orang
bersorban. Selembar daun jati itu terlihat melayang jatuh ke tanah.
Orang-orang tak pernah tahu siapa gerangan orang bersorban itu. Mereka kemudian menyebutnya sebagai Syekh Daun Jati.
Ayah menceritakan kembali kisah itu pada saya dengan suara serak dan
patah-patah. Ia terbaring sakit di usianya yang melewati 87 tahun. Ia
menceritakan kisah itu seolah ada ketakutan yang terus disembunyikan.
Tubuh ayah keriput dan kering, dan hanya bisa berbaring di ranjang.
Kadang tengah malam ayah mengigau dengan suara penuh kecemasan, ”Ulat
bulu… ulat bulu…. Bakar ulat bulu itu! Bakar!”
Sering saya melihat matanya memandang jauh dengan tatapan kosong.
Saya tahu, ada bagian yang tak pernah ayah ceritakan pada saya, yang
justru saya dengar dari kasak-kusuk para tetangga. Ayah bukanlah sekadar
orang yang selamat dari pembantaian. Tapi ia adalah orang yang bersama
Dalmiji ikut membantai orang-orang di kampung Jatilawang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar