Minggu, 24 Juli 2016

Cermin, Api, Cermin, Sunyi

Cerpen Triyanto Triwikromo (Jawa Pos, 16 September 2012)

APAKAH kau pernah dipenjara dan disalib di ranjang api? Tidak hanya di satu sel, tetapi di empat penjara dan satu rumah sakit jiwa pada kurun1965-1971? Jika pernah, kau pasti tidak sanggup menceritakan kepadaku sekecil apa pun peristiwa yang kau alami dengan getir dan mungkin penuh tekanan itu. Karena itu sesungguhnya aku tidak ingin membeberkan kisah konyolku kepadamu. Aku yakin siapa pun akan menganggapku membualkan dongeng nonsens. Aku juga percaya mereka, mungkin juga kau, akan menganggap apa pun yang kukatakan sebagai ceracauan orang gila.
Akan tetapi karena tidak gila, aku justru berhasrat menceritakan kegilaan para serdadu dan perawat serta dokter yang tidak pernah mau percaya pada kesehatan jiwaku. Bagaimana tidak gila jika mereka selalu memintaku menjadi orang lain? Bagaimana tidak gila jika aku dipaksa menjadi pembunuh untuk perbuatan yang tidak pernah kulakukan?
“Kau tidak akan dieksekusi hari ini jika mau mengakui ikut membunuh para jenderal dan segera minta ampun,” kata interogator cantik berkumis halus yang entah mengapa bernama Karna dan bukan Karina itu.
“Aku tidak pernah membunuh siapa pun. Aku hanya menari dan sedikit mabuk. Setelah selesai menari aku limbung tak tahu apa yang terjadi.”
“O, kau ingin mengatakan kau telah membunuh para jenderal di luar kesadaran ya?”
Karena dijawab dengan benar pun, akan selalu menganggap perkataanku salah, aku lebih memilih menceracau sesuka hati. Karna tampak terkejut ketika aku bilang, “Aku membunuh para jenderal itu sebagaimana aku membunuh tikus. Apakah kau pernah membunuh pria yang paling kau cintai?”
Karna menggeleng. Gelengan itu punya banyak makna. Mungkin dia memang tidak pernah membunuh. Mungkin dia memang tidak memiliki pria pujaan.
“Juga tak pernah mencekik kucing?”
Karna menggeleng lagi.
“Tak pernah membacok punggung anjing?”
Karna tersenyum. Senyum itu mengisyaratkan dia bukan hanya pernah membacok, tetapi mungkin menghancurkan kepala binatang menjijikkan itu dengan linggis. Akan tetapi senyuman yang semula begitu tulus itu, dengan cepat berubah jadi tawa sinis. Dengan cepat pula dia berusaha menguasaiku dengan meluncurkan pertanyaan tak terduga, “Apakah sebelum membunuh para jenderal, kalian ajak mereka bercumbu terlebih dulu?”
Tak bisa kujawab dengan cepat pertanyaan itu.
“Apakah saat itu kau bisa menikmatinya?” tanya Karna lagi dalam nada dingin, “Apakah para jenderal yang terikat kaki dan tangannya itu juga bergairah saat kalian cumbu?”
Gila! Sungguh gila pertanyaan interogator berdada lancip ini. Rupa-rupanya Karna membayangkan Tarian Harum Bunga sebagai pesta seks yang menggetarkan. Dia benar-benar menyangka saat itu aku telanjang dan dengan rakus menganggap para jenderal sebagai makanan yang layak dilahap tanpa sisa, tanpa tulang-temulang.
“Ya, aku menikmatinya…,” kataku, “Kau ingin tahu bagaimana aku menikmati percumbuan itu?”
Karna mengangguk. Napasnya memburu. Ada gairah menggelegak yang ditahan. Karena bisa menduga keinginan Karna, aku kemudian melepaskan kaus hitam merah, kutang, celana panjang hitam, dan celana dalam unguku. Berpura-pura sebagai orang yang mengidap gangguan jiwa, aku menarikan Tarian Harum Bunga dengan mata terpejam.
“Tetaplah duduk di kursimu. Bayangkan kau sebagai jenderal yang hendak menikmati keliaran percintaan. Akan kutunjukkan bagaimana aku dan para perempuan terpilih mencumbu para jenderal,” aku mendesis.
Perempuan bertubuh kekar itu tak bergerak. Dia begitu takjub melihatku menari. Tidak. Tidak. Dia tidak hanya takjub pada keindahan tubuhku atau getar yang mengalir dalam setiap tarianku. Sebagai perempuan yang begitu memahami makna setiap ledakan berahi, aku tahu Karna ingin segera merasakan sentuhan seseorang yang akan memperlakukan dia sebagai ratu. Ya, sentuhan seseorang, tidak peduli perempuan atau lelaki, tak peduli dia mirip binatang laknat atau malaikat penuh berkat.
Karena ingin mempermainkan perempuan itu, aku kemudian memeluk dia dari belakang. Kukecup tengkuknya, kubisikkan kata-kata kotor. Kukatakan kepadanya begitulah caraku dan para perempuan terpilih menjilati telinga para jenderal yang hampir sekarat.
“Aku kemudian melucuti pakaian mereka,” kataku sambil melepas seluruh pakaian Karna, “Kau ingin merasakan bagaimana para jenderal itu merasakan ciumanku?”
Sedikit pun perempuan itu tidak melawan. Mungkin Karna berpendapat untuk mendapatkan keterangan seakurat mungkin, diperlukan pengorbanan luar biasa, termasuk membiarkan tubuhnya diperlakukan sebagai jenderal yang terhina di hadapan para pembunuh di Lubang Buaya.
Akan tetapi bisa saja—sebagaimana kabar yang beredar—dia memang perempuan yang senantiasa berhasrat bercumbu dengan perempuan dari kalangan mana pun yang diinterogasi. Dan karena memang ingin mempermainkan perempuan konyol yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang Gerwani, aku memang menyesatkan Karna dengan keterangan-keterangan palsu dan dengan cumbuan yang juga palsu.
Akan tetapi sungguh keliru menganggap Karna sebagai perempuan bodoh. Dia tahu aku tak sungguh-sungguh mencium dan menggigit bibirnya yang ranum itu. Dia tahu aku sesungguhnya sedang mengkhayalkan bercinta dengan orang lain. Dia tahu aku sedang mengangap dia sebagai seseorang yang memaksaku bercumbu di taman di bawah separuh bulan di antara dengus pasangan lain yang telah bercinta tanpa memedulikan orang lain. Dia tahu saat itu justru aku yang memiliki hasrat besar untuk memekik menikmati ledakan-ledakan berahi yang tak tertahankan.
Aku memang kemudian terkulai dengan keringat yang terus mengucur, sementara dia dengan sangat tenang mengenakan kembali pakaian yang sebelumnya kubuka dengan paksa. Dan sungguh tidak kuduga, dia memanggil beberapa penjaga tahanan dan meminta mereka membawaku ke sel.
“Pindahkan dia ke penjara lain. Perempuan ini mulai tidak waras,” kata Karna yang dalam setiap tindakannya mengingatkan aku pada tentara-tentara bengis yang menangkapku.
Para penjaga pun kemudian memborgolku. Aku meronta. Mereka membentangkan dan mengikat tangan dan kakiku.  Mereka menyalibku di ranjang. Tentu saja aku terus meronta. Aku tak ingin para sipir memperlakukan aku sebagaimana para serdadu Romawi menyalib Yesus di tiang penyaliban.
Tak ingin lebih tersiksa, aku meprotes tindakan sipir. Aku teriakan kata-kata kotor kepada mereka.
“Jangan berisik. Kalau kau terus berisik, ranjangmu akan kubakar!”
***
RANJANGKU belum dibakar. Akan tetapi, mereka memindahkan aku ke penjara lain. Dipindah ke penjara lain, jelas merupakan berkah. Pertama aku bisa terhindar dari Karna yang tak kenal waktu—tak malam, tak pagi, tak siang—menginterogasi dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh dan dekapan kuat yang menyesakkan dada setiap aku menjawab secara ngawur keterlibatanku dalam pembunuhan para jenderal. Kedua, aku bisa terhindar dari ancaman eksekusi yang mengakibatkan perut seperti diaduk-aduk dan jantung berdebar lebih kencang. Ketiga, aku bisa memiliki kemungkinan untuk mewartakan kesewenang-wenangan serdadu kepada siapa pun.
Apalagi bukan hanya aku yang dipindah dari penjara ke penjara. Kelak saat bersama perempuan lain ditahan di kamp, aku tahu ada dokter yang harus berpindah dari rumah tahanan di Sukabumi, ke Bandung, Kebayoran Baru, Pesing, Gunung Sahari, Lapangan Banteng Selatan, dan Bukit Duri. Juga ada istri pelukis setelah dibawa dengan truk tentara ke Sleman, dia juga dipindahkan ke Benteng Vredeburg, Penjara Wirogunan, hingga ke Penjara Bulu Semarang.
Dibanding mereka, jelas aku lebih beruntung. Aku memang dipindah ke tiga penjara, tetapi semua berada di Alas. Mula-mula mereka memindahkan aku di sebuah tempat yang memungkinkan aku mendengar sapi-sapi mengerang-erang kesakitan.
“Tempat apa ini?” aku bertanya kepada sipir.
“Neraka,” kata sipir dingin.
“Neraka?”
“Ya, ini tempat penyembelihan. Tak jauh berbeda dari Lubang Buaya bukan? Tidak perlu merasa ngeri. Kau toh sudah terbiasa dengan darah. Kau toh sudah terbiasa dengan erangan kesakitan?”
“Tetapi mengapa Sampean katakan tempat ini sebagai sebuah neraka?”
“Karena tempat ini sebentar lagi akan dibakar dan kalian akan hangus,” kata sipir itu dingin.
Hmm, aku tahu ini cara para serdadu rahasia Soeharto membuat kami depresi. Mereka sungguh piawai menciptakan kepanikan. Mereka lebih tampil sebagai dokter-dokter rumah sakit jiwa yang mengerti seluruh ceruk kejiwaan kami ketimbang sebagai tentara.
“Mengapa harus dibakar?” aku bertanya tanpa kepanikan agar tak terlihat sisi depresiku.
“Karena kalian berbahaya dan tidak mau mengaku telah membunuh para jenderal,” jawab sipir sesuka hati.
Tak kuteruskan pertanyaanku. Aku sudah hafal segala pertanyaan akan dijawab secara mekanis dan selalu berakhir pada keinginan mereka untuk meminta kami mengaku telah membunuh para jenderal dengan berbagai sayatan silet di tubuh, dengan berbagai pukulan mematikan di kepala.
Sejak itu aku memang lebih memilih diam. Dan sejak saat itu pula dalam percakapan mereka kudengar aku akan dipindah ke penjara lain.
“Percuma kita kurung perempuan ini di sini. Dia sudah gila. Dia lebih suka berbicara sendiri ketimbang bercakap-cakap dengan kita. Menghadapi perempuan ini, bisa-bisa kita justru ketularan gila.”
Tidak menunggu lama untuk berpindah penjara. Kali ini mereka membawaku ke rumah tua dekat permakaman serdadu Belanda. Ada banyak kelelawar beterbangan dari ruang tamu, toilet, hingga kamar. Entah sejak kapan kelelawar-kelelawar yang suka menabrak-nabrak dinding itu tinggal di rumah bercat serbaputih ini. Entah sejak kapan pula rumah ini ditinggalkan para penghuni sehingga siapa pun tidak bisa membaui keringat atau apa pun yang senantiasa melekat pada manusia.
Mula-mula tentu aku tidak terbiasa di kurung di sebuah kamar dan hanya bisa melihat nisan-nisan para serdadu Belanda dari jendela berjeruji. Mula-mula aku merasa ketakutan ketika melihat bulan seakan-akan jatuh di makam itu saat purnama tiba. Mula-mula aku bosan hanya mendengarkan kepak kelelawar dan berbagai suara aneh pada malam-malam yang panjang dan sedikit mencekam. Akan tetapi lama-lama kuabaikan siksaan-siksaan tak bermutu para serdadu gendheng ini.
“Kau tetap tidak mau mengaku telah turut membunuh para jenderal? Ayolah ceritakan saja menurut versimu,” kata seorang interogator yang tampak jijik mengunjungi kamarku.
Aku terdiam. Tidak ada gunanya menjawab pertanyaan yang itu-itu saja.
“Aku akan mengeluarkanmu dari sini asal kau akui segala hal yang akan kulaporkan kepada Komandan,” tandas interogator itu tak sabar.
Aku masih terdiam. Kupikir lebih baik aku menghabiskan waktuku di tempat ini daripada mengakui hal-hal yang tidak kulakukan untuk pada akhirnya ditembak oleh para serdadu di sembarang tempat.
Mungkin karena putus asa, serdadu yang sebenarnya murah senyum ini memanggil dua orang sipir yang selama ini menjagaku.
“Perempuan ini kian gila. Apakah tidak sebaiknya kita pindahkan saja di penjara khusus untuk para perempuan sableng?”
Dua sipir itu mengangguk.
“Apakah dia sudah sering bicara sendiri di kamar?”
Dua sipir itu mengangguk lagi.
“Apakah dia juga suka berteriak-teriak tak keruan?”
“Ya. Dan itu dia lakukan sepanjang waktu,” kata salah seorang sipir.
“Kalau begitu besok kita pindah dia!”
Pindah lagi? Ini jelas ancaman. Karib dengan kelelawar membuatku kerasan dipenjara di tempat ini. Karena itu begitu dua sipir hendak meringkusku, aku memberontak. Kali ini perlawananku dianggap membahayakan. Seorang sipir memukul tengkukku dengan kayu.
Sayup-sayup kudengar suara interogator memberi perintah kepada sipir-sipir itu, “Kalau rewel, bakar saja perempuan sialan ini.”
Hmm, lagi-lagi ancaman pembakaran….
Tidak adakah gertakan lain?
***
KETIKA kubuka mataku, aku telah berada di ruang serbacermin yang ditata sedemikian rupa sehingga memantulkan begitu banyak tubuh. Kulihat 15 tubuhku di balik cermin itu. Mula-mula kusangka kepalaku sudah bocor dan mataku kian lamur sehingga tidak bisa melihat mana tubuhku yang sebenarnya. Ketika kurentangkan tanganku, semua bayangan di cermin juga bertingkah mirip orang-orang yang disalib di Bukit Golgota. Ketika aku meniru Yesus berdoa di Taman Getsmani, cermin juga menampilkan sosok tubuh yang tertunduk pasrah, menangis tak kunjung henti. Dan karena aku suka menari, kuletupkan sembarang tarian dengan gerakan yang sangat cepat menurukan gerak-gerak lucu Anoman, sehingga aku merasa dikepung puluhan kera cantik yang melompat-lompat tak keruan.
Apa maksud mereka menghukumku dengan cermin pantul pembingung itu? Mereka ingin membuatku gila? Mereka ingin menerorku dengan seakan-akan memunculkan begitu banyak orang yang menguntitku? Atau jangan-jangan mereka sengaja menakuti-nakuti aku dengan puluhan hantu dari balik cermin agar aku segera mengaku telah terlibat dalam pembunuhan yang tidak pernah kulakukan? Entahlah. Yang jelas mula-mula kubiarkan mereka mempermainkanku dengan cermin yang sangat menyebalkan itu. Akan tetapi ketika kepanikan mulai muncul, aku ingin menghancurkan cermin itu. Kulemparkan segala benda agar cermin pecah, tetapi pantulan bayangan aneka benda itu justru memusingkanku. Sedikit pun cermin tak tergores dan yang menjengkelkan benda-benda itu—kursi, asbak, piring, sendok, garpu, dan gelas—seakan-akan justru menguburku. Sayang tak ada palu di ruangan itu. Andai ada palu, cermin akan pecah dan berakhirlah nasib 15 bayangan tubuhku yang senantiasa mengganggu.
Pada puncak kepanikan, seorang perempuan berpakaian serbaputih dan dua sipir berambut cepak masuk. Mungkin karena sudah terbiasa dengan cermin pantul pembingung, mereka sama sekali tidak terganggu oleh bayangan lain di cermin.
“Kalian ingin membuatku gila?” aku langsung memprotes.
“Kamu sudah gila, mengapa harus kami bikin gila?” perempuan itu tertawa.
“Aku tidak gila. Aku hanya bingung,” aku kian memprotes.
“Kalau hanya bingung, kamu tidak akan diperlakukan seperti ini,” perempuan itu memberi isyarat kepada sipir agar meringkusku.
Tentu saja aku memberontak. Aku meronta-ronta berusaha menendang mereka. Akan tetapi karena tanpa kusadari aku melihat begitu banyak bayangan di cermin, rasa pusing yang luar biasa menyerangku. Aku mual. Aku merasakan dikerubut puluhan orang.
Dalam situasi tubuh yang kian lemah, kurasakan sebuah jarum suntik menancap di lenganku. Suntikan itu kian membuat pandanganku kabur. Lama-lama aku seperti diserang kantuk yang luar biasa. Lalu kudengar mereka berbisik tak keruan tetapi masih bisa kutangkap maknanya.
“Perempuan ini tak menyadari jika dirinya berbahaya…,” kata yang perempuan.
“Kalau berbahaya, mengapa tidak dibunuh saja?” kata sipir.
“Perempuan ini punya banyak rahasia yang harus dikorek dulu sebelum dibinasakan. Tugas kita bukan mengorek rahasia itu. Tugas kita hanya membawa perempuan ini ke rumah sakit jiwa agar dia sembuh, agar dia segera membeberkan rahasia pembunuhan para jenderal itu?”
Hmm, rahasia? Rahasia apa? Sok tahu perempuan sialan itu….
Tetapi peduli amat dengan mereka. Aku toh sangat mengantuk. Aku toh harus tidur. Aku toh lebih baik melupakan apa pun yang membingungkanku….
***
MUNGKIN satu atau dua jamaku tertidur, tetapi rasanya telah berbulan-bulan. Begitu bangun aku melihat kaki dan tanganku diikat di ranjang. Di kanan-kiriku juga ada ranjang-ranjang dan tubuh-tubuh lain. Rupa-rupanya sekarang aku dikurung di bangsal.
Permainan apa lagi ini? Penjara apa lagi?
Tak ada yang menjawab pertanyaanku. Mengharapkan jawaban dari sipir atau dokter, aku justru mendengar suara-suara aneh dari ranjang-ranjang lain. Ada suara orang mendengkur. Ada suara orang menceracau. Ada yang berteriak keras-keras. Ada yang menyanyi lagu-lagu sumbang. Ada mengaum. Ada yang menggonggong. Ada yang menguik.
Ini pasti mimpi. Di kebun binatangkah aku? Mereka mengirimku ke sini karena menganggap aku sebagai hewan yang layak dibantai atau dipermainkan?
Karena penasaran, aku mencoba melepaskan ikatan sambil kulontarkan kata-kata yang memprotes kesewenang-wenangan para serdadu Soeharto. Tentu saja teriakanku yang tak keruan itu menimbulkan kegaduhan. Orang-orang lain yang semula tidur pun terbangun. Mereka mengerubutiku. Mereka—yang entah karena apa berpakaian sama—sangat ribut dan mengancamku.
“Perempuan yang selalu mengaku memiliki sayap ini akhirnya bangun juga….”
“Memiliki sayap? Malaikat maksudmu? Jangan bicara seperti orang gila…. Dia itu cuma anggota Gerwani….”
Edan! Siapa mereka ini? Mengapa mereka juga dikurung bersamaku di sini? Apakah mereka juga menari bersamaku di Lubang Buaya? Tetap tak ada yang menjawab pertanyaanku. Mungkin mereka memang tidak mendengar pertanyaanku. Mungkin mereka mengabaikan pertanyaanku.
Karena aku terus berteriak-teriak, seorang berpakaian necis membubarkan orang-orang yang mengepungku. Pria tampan ini dengan lembut kemudian membisikkan kata-kata yang juga lembut di telingaku, “Aku dokter yang akan merawatmu. Kau jangan sekali-kali melarikan diri dari rumah sakit jiwa ini….”
“Kalau aku melarikan diri?” kugoda dokter tampan itu.
“Kau akan terus diikat dan disalib di ranjang ini.”
“Tak ada yang akan membebaskan aku?” aku kian menggoda.
“Kalau Tuhan ada, Dia yang akan membebaskanmu,” dokter itu ganti menggodaku.
“Menurutmu Tuhan itu ada?”
Dokter itu tidak menjawab, “Tidurlah lagi. Patuhilah semua peraturan. Minumlah obatmu. Kau harus sembuh.”
“Sembuh? Sembuh dari apa? Aku tidak sakit.”
Dokter itu tertawa, “Kalau tidak sakit, kau tidak akan dibawa ke sini!”
Kini ganti aku yang tertawa, “Jangan bergurau. Aku hanya pusing dan aku ingin tidur….”
“Karena itu tidurlah…,” dokter itu berbisik, lembut sekali.
Aku memang tertidur. Aku tidak tahu kapan akan bangun lagi. Aku hanya merasakan ancaman penyaliban dan pembakaran tubuhku tak akan terhindarkan. Tentu saja aku tak peduli. Saat ini aku hanya ingin tidur. Tidur. Tidur. Tidur… dan tak bangun lagi.... (*)


Triyanto Triwikromo, pemeroleh Penghargaan Sastra Pusat Bahasa untuk Kumpulan Cerpen Ular di Mangkuk Nabi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar