Minggu, 24 Juli 2016

Tentang Anak Lelaki yang Tinggal Satu Lorong dengan Kami

Cerpen Yetti A. KA (Jawa Pos, 8 Agustus 2010)

KALAU aku terlalu memikirkan Mendung, sebab dia teman putraku, Bami. Dan dia satu-satunya teman bermain Bami di lingkungan yang baru kami tinggali ini. Kebetulan sekali rumah kontrakan kami dan rumah anak itu berada dalam satu lorong yang menyisakan halaman sangat sempit dan hanya bisa dilewati sepeda motor. Di mulut lorong terdapat tulisan: mesin motor harap dimatikan.
Sebagai orang Sumatera, sebenarnya aku tidak terbiasa dengan keterbatasan semacam itu. Aku akrab dengan halaman yang luas di depan rumah kami atau jalan yang lapang hingga truk pun tak dilarang lewat (kebetulan anakku suka sekali pada truk. Kukira semua anak kecil memang menyukai truk).
Kemudian yang kuketahui tentang Mendung, bahwa ia ditinggal ibunya dua minggu lalu. Aku sulit mengerti bagaimana perasaan seorang ibu yang bisa meninggalkan anak berusia lima tahun karena menghindari tagihan hutang. Seharusnya kalau memang ia harus pergi, mestilah meninggalkan satu alasan yang lebih kuat. Bagaimanapun suatu hari nanti Mendung akan tumbuh menjadi seorang lelaki. Jangan sampai dadanya telah berlubang sebelum ia melalui kehidupan yang sesungguhnya. Itu tidak adil. Dan memerihkan baginya.
Seperti apakah perempuan itu. Paling tidak berteman dengannya pasti menyenangkan, dan karena itu banyak orang teperdaya dibuatnya. Aku sedikit tahu tentang perempuan itu dari si Mbah—seorang janda tua yang tinggal di depan rumah kami. Menurut si Mbah, perempuan itu pernah punya salon kecil-kecilan di rumahnya. Sisa dari salon itu masih tampak pada gambar sejumlah model rambut yang tertempel di dinding ruang tamu. Kata si Mbah lagi, perempuan itu juga punya banyak pacar. Lelaki-lelaki muda yang sering menyelinap ke kamarnya saat suaminya bekerja sebagai juru parkir di sebuah warnet dekat jalan raya.
Suaminya bukan tidak tahu permainan itu. Tapi ia kelewat pendiam, kelewat menyembunyikan semuanya dalam hati. Ia jenis lelaki yang tidak berdaya. Juga tidak pemarah. Padahal setiap orang pasti butuh meluapkan rasa marah (kalau tidak maka siap-siaplah untuk pecah). Satu kali ia pernah mencoba bunuh diri dengan minum racun nyamuk cair dan itu membuat orang-orang tahu bahwa sebenarnya ia terluka.
Sejak itu orang-orang berusaha menjaga perasaan lelaki itu dan tidak pernah membicarakan beberapa lelaki lagi yang sering tertangkap menatap mesra pada istrinya yang kemudian secara cepat masuk ke rumah ketika salon sedang sepi dan membuat perempuan bergincu menyala itu punya alasan untuk menutup pintu dan berkata pada si Mbah bahwa ia mendadak sakit kepala.
Lalu istrinya minggat, lari dari hutang, tepatnya. Lelaki itu segera tahu kemalangan telah menyempurnakan hidupnya. Ia berdiri kosong di pintu untuk waktu yang panjang. Ia tidak tampak kecewa, apalagi sedih. Tapi ia menatap amat dingin pada langit. Belakangan lelaki itu tidak lagi bekerja sebagai juru parkir karena pemilik warnet—yang tetangga kami juga—merasa tidak tahan melihat lelaki itu selama hampir satu bulan memandang dingin pada langit seolah sedang merencanakan sesuatu yang menakutkan.
“Matanya menyeramkan,” ujar pemilik warnet itu, seorang perempuan setengah baya yang mulai ubanan, saat kami berpapasan di tepi jalan. “Dia lelaki pendiam yang kadang memang tampak mengerikan,” kataku, “tapi dia seseorang yang baik.”
Sementara bagi orang-orang di sekitar rumah kami, kepergian perempuan itu seolah-olah memang sudah seharusnya. Mereka sudah merasa cukup untuk terus-terusan menahan diri. Mereka tidak ingin melihat si lelaki dibuat mati pelan-pelan oleh perempuan keparat semacam itu. Sesuatu yang tentu saja berbeda dengan apa yang dirasakan puluhan orang yang telanjur meminjamkan uang pada perempuan itu. Orang-orang yang tidak henti-henti mengetuk pintu rumah kami dan pintu para tetangga lain untuk menanyakan keberadaan perempuan itu atau tentang bapaknya Mendung yang seolah tahu betul kapan harus menutup pintu rapat-rapat sebelum orang itu tiba. Karena itu juga, ujar si Mbah, ia tidak yakin ibunya Mendung akan menengok Mendung, barang sekalipun. Ia tidak mungkin berani kembali ke sini. Terlalu beresiko.
Itu jelas terdengar buruk bagi Mendung yang saat pertama kali bertemu, menatap amat rindu pada mataku seakan-akan ia sedang mencari kesamaan kecil antara mataku dan mata ibunya.
Memang, anakku, Bami, orang pertama yang mengulurkan tangan pada bocah itu, hingga aku tidak punya alasan untuk menutup pintu rumah kami, terutama pada jam bermain di mana ia sangat gelisah dengan kesendiriannya. Selanjutnya aku mulai menganggap diriku sebagai lapangan yang luas, tempat Bami dan Mendung boleh bermain bola karet bersama atau kejar-kejaran sepanjang siang di hari Minggu sebab nyatanya hatiku lebih lebar dari yang kukira.
***
Hampir enam bulan kami bertetangga dengan Mendung (rumah kami hanya dipisahkan satu lapis dinding saja). Ternyata ia malas sekali mandi pagi, dan lebih sering mandi sore pada malam hari. Ia juga terbiasa tidur pada dini hari. Bapaknya, setelah tidak bekerja di warnet, ditunjuk menjadi salah satu penjaga keamanan oleh warga sekitar. Setiap malam, beberapa lelaki berkumpul di rumah Mendung, sebelum atau sesudah berkeliling mengambil uang jimpitan di rumah warga. Di antara tawa teman-teman bapaknya, sering pula terdengar teriakan Mendung yang ikut senang dengan keramaian di rumahnya. Kadang terdengar suara Mendung menirukan bunyi mobil atau pesawat terbang, berupa suara gumam yang panjang dan kadang terdengar kacau.
Seperti malam ini, masih kudengar suara bocah itu. Ia berceloteh, entah apa, barangkali sedang memainkan sesuatu. Terdengar pula suara bapaknya memperingatkan agar Mendung segera tidur. Itu peringatan untuk kesekian kali. Kulihat jam di ponselku. Pukul dua kurang sepuluh menit. Heran. Bagaimana mungkin Mendung tidak mengantuk selarut ini. Aku saja butuh dua gelas kopi untuk bertahan, menyelesaikan makalah yang harus dikumpulkan besok pagi.
Lagi-lagi aku ingat Sumatera jika membicarakan kopi. Aku tersenyum canggung. Cerita tentang kopi tidak bisa tidak menyangkut rasa pahit dan manis.
Kini kopiku sedikit pahit dari biasa. Barangkali karena aku telah membubuhkan sisi kelabu dari hidup Mendung ke dalam cangkir ini.
***
Pagi masih terasa dingin ketika aku membuka pintu. Mendung berdiri tidak jauh dari pintu rumah kami. Mataku yang sedikit bengkak menyipit. Mendung tidak biasa bangun pagi. Kulihat mata beningnya. Polos sekali. Aku tak menemukan maksud tertentu dari dirinya kecuali kalau ia memang kebetulan bangun pagi dan berdiri di depan pintu rumah kami. Aku segera memberitahunya bahwa Bami masih di kamar dan belum mandi.
Mendung tahu Bami boleh bermain kalau sudah mandi pagi.
Kadang aku merasa diriku seorang ibu yang kaku. Padahal dulu aku nyaris dibesarkan tanpa tata tertib. Orang tuaku petani yang tekun dan lebih baik meninggalkan anaknya di rumah seorang saudara selama berminggu-minggu ketimbang membiarkan kebun kopi tidak terurus. Sampai suatu hari ibu melengking keras ketika didapatinya rambutku dipenuhi telur kutu. Aku ingat, mulai saat itulah aku benar-benar merasa memiliki ibu yang mengajari cara merawat badan hingga aku menjadi gadis yang bersih.
Mendung masih berdiri di depan pintu seakan ingin menunjukkan kalau dia lelaki kecil yang tangguh atau keras kepala. Ia bahkan tidak terlalu peduli dengan keberadaanku.
“Kau bangun pagi sekali, apa kau tidak dingin berada di luar?” aku memandangnya dengan tatapan prihatin.
Mendung nyengir, giginya terlihat kotor. Ia tidak mengucapkan apa-apa. Hanya matanya menerobos ke dalam rumahku seakan ingin tahu kalau Bami memang masih di kamar.
“Ini terlalu pagi dan sebaiknya kau tidak berdiri di luar,” kataku lebih tegas.
Lagi-lagi Mendung nyengir dan mulai salah tingkah seperti biasanya anak-anak yang tidak tahan diintrogasi orang dewasa.
“Aku mau nelpon Mama,” akhirnya ia mencoba melepaskan diri.
Ia menempelkan genggaman tangannya yang kecil ke dekat telinga, dan ia berseru: Mama! Halo…ya, Mama. Ya, Dung tidak main hujan.
Ini Juli, Mendung dan memang jarang hujan di sini. Tapi benarkah perempuan itu tahu kalau di sini jarang hujan? Ya, kau memang perlu menyampaikan pada ibumu bahwa kau tidak main hujan karena mungkin saja perempuan itu terlalu sibuk hingga tak sempat melihat ke arah langit tempat kau ditinggalkan.
***
Mulai hari ini aku memutuskan untuk tidak penasaran lagi dengan ibunya Mendung. Aku tidak lagi akan mencuri dengar gosip tentang perempuan itu di warung sayur. Aku juga tak mau lagi membayangkan bisa bertemu dengan perempuan itu, apalagi menganggapnya seseorang yang asyik untuk dijadikan teman. Aku akan membiarkan ia hilang seperti aku membuang remah roti di depan pintu yang dalam sekejap dilarikan kawanan semut.
Tentu saja mudah bagiku untuk melupakan seseorang yang sama sekali tidak kukenal, yang namanya saja aku tidak tahu, kecuali sebagai ibunya Mendung, perempuan yang sering digosipkan suka menghamburkan uang untuk pacar-pacarnya, dan pergi dari rumah karena terlilit banyak hutang.
Sedangkan Mendung, aku tahu seumur hidup ia akan ingat pada sebuah pagi di musim hujan di mana saat terbangun ia tak lagi bertemu ibunya. Bisa jadi karena itu pula ia sering bicara sendiri, seolah sedang menelepon seseorang dengan menempelkan genggaman tangannya dekat telinga dan selalu berkata: Dung tidak main hujan.
Dan karena itu aku makin peduli. Terlebih, sebagaimana yang telah kukatakan, dia teman anakku satu-satunya. Selain kerap memberinya roti, buah apel, permen atau sebungkus es lilin rasa ketan hitam (karena aku selalu membeli yang rasa itu), aku juga sering mengingatkannya untuk tidak keluyuran hingga keluar lorong atau menyuruhnya mandi bila sore atau mengajarinya menggambar, berhitung, dan membaca bersama-sama Bami.
Aku pun tak merasa berlebihan jika menginginkan Mendung bisa ikut kami ke Sumatera saat aku menyelesaikan tugas belajar nanti. Namun hatiku memperingatkan bahwa itu tidak akan mudah.
Terus terang aku sedikit takut jika suatu hari kami akan kehilangan Mendung, bahkan kami tak bisa menjumpainya di lorong sempit ini.
***
Sepulang dari kampus, aku melihat Mendung masih di luar dengan sisa coklat bercampur debu di pipinya. Kubertanya, kenapa belum mandi padahal hari hampir malam. Ia bilang, bapaknya belum pulang. Aku tidak tahu apa yang dikerjakan lelaki itu sekarang. Akhir-akhir ini ia sering pulang malam dan mengabaikan Mendung. Bisa jadi lelaki itu sedang mencari pekerjaan baru, namun tentu tidak gampang baginya. Lalu ia hanya ingin berlama-lama di luar, sebab bagi sebagian orang pulang ke rumah sama saja dengan kembali pada kenyataan yang getir atau kemiskinan yang me­nyambut tepat di muka pintu.
Kemiskinan. Pernahkah aku membayangkan sedekat ini dengan kata itu, bahkan berada di depan jendela dan di balik dinding rumah kami. Kemiskinan yang menjelma dalam deretan rumah petak yang bersesakan, yang nyaris tidak menyisakan ruang kosong atau melekat di mata para lelaki yang rata-rata bekerja sebagai penarik becak dan tukang parkir.
Aku menarik tangan Mendung, membawanya pulang ke rumah kami. Bami tersenyum senang setelah membuka pintu. Ia pasti tengah berpikir akan main mobil-mobilan sampai malam bersama Mendung. Sebelum itu terjadi aku sudah bilang: kamu harus cepat tidur, besok pagi kita akan pergi sekolah menggambar.
Ada protes kecil dari bibirnya, dan aku hanya memandangnya sedih.
***
Pukul satu dini hari, terdengar ketukan di pintu. Kebetulan aku belum tidur. Bami dan Mendung tidur dengan adikku di kamar belakang. Aku mengintip lewat tirai yang kusingkap sedikit. Aku melihat bapak Mendung berdiri tepat di depan pintu rumah kami. Ia tidak sendiri. Seorang perempuan berdiri tidak jauh darinya. Aku malas sekali berpikir lebih dalam tentang perempuan itu. Ada banyak perempuan yang bisa dibawa pulang pada tengah malam di kota ini, dan tentunya tidak terlalu susah.
“Aku mencari Mendung,” kata lelaki itu tampak yakin kalau Mendung bersama kami. Bisa jadi ia dari rumah si Mbah dan tak menemukan Mendung di sana.
“Dia sudah tidur,” ujarku mengelak.
“Aku akan membawanya pulang.”
“Aku akan mengantarnya besok pagi.”
“Aku ingin membawanya pulang sekarang.”
Aku kehilangan alasan untuk mempertahankan Mendung di rumahku. Aku ke kamar, terpaksa membangunkan anak itu. Perasaanku sedikit gugup saat menyerahkan anak itu pada bapaknya. Aku tak biasa mengeluarkan sesuatu dari rumahku pada tengah malam, apalagi jika itu menyangkut seorang anak kecil. Malam tempat kejahatan mengintai dari tempat-tempat gelap, aku selalu merasa begitu. Tapi aku sudah membiarkan Mendung seakan berjalan sendirian dalam kegelapan itu. Bahkan dalam keadaan matanya yang masih setengah terpejam.
***
Lalu, setiap denyut, setiap hentak, selalu rasa takut itu yang datang. Setiap yang kupikirkan, setiap yang melintas, selalu cemas itu. Dan dari semua yang paling meresahkanku, pintu sebuah rumah yang tak pernah lagi terbuka. Berkali-kali aku ke sana, berkali-kali aku memanggil nama seseorang. Tak ada siapa-siapa. Keterlaluan! Lelaki itu bahkan tak bilang kalau ia akan membawa Mendung pergi pada malam itu. Terlalu banyak hal-hal menakutkan di luar sana yang bisa saja terjadi pada Mendung.
Mendung hilang. Bukan. Si Mbah tidak bilang be­gitu. Aku ingat betul cara ia menyampaikannya pa­daku: Mendung dijemput ibunya pada tengah ma­lam saat semua orang tengah tertidur.
Karena itu, sungguh, aku tak percaya kalau Mendung baik-baik saja! (*)



Jogjakarta-Batusangkar, Juni-Agustus 2010
Yetti A. KA, bergiat di Komunitas Daun, Padang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar