Senin, 25 Juli 2016

Menembus Penjara Kata

Oleh Primadita Herdiani
Mengapa dunia membisu padaku? Tak bisa kudengar derai hujan atau desah angin. Tak tahu seperti apa dengung kumbang yang mengelilingi bunga-bunga. Atau derik serangga malam hari. Benarkah mereka bersuara seperti yang diceritakan ayah atau didongengkan ibu. Kicau burung hanya ada dalam gerak mulut orang tuaku. Pastinya seperti apa tak kupahami. Suara ayah ibu pun entah seperti apa.
Apa ibu memanggil namaku dengan lembut? Apa tawa ayah keras atau pelan. Aku hanya melihat bibir ibu bergerak menipis lalu terbuka. Saat itulah aku paham ia sedang memanggil namaku. Dan tawa ayah hanya kupahami lewat baris giginya yang terlihat.  Yang pasti ayah selalu tersenyum bila memanggil namaku.
Aku melihat alam selalu bergerak dalam kesunyian. Kala hujan deras disertai angin melanda halaman rumah. Ranting-ranting terlihat patah, pohon bergoyang tumbang. Daun berserakan diacak angin yang tak peduli arah. Namun dalam gerak alam yang sedahsyat itu tak kudengar apa  pun. Bahkan petir pun hanya sebuah kilatan cahaya di langit yang tetap saja sepi.
Sejak awal hidup tak dapat kudengar apapun. Aku hanya melihat gambar bisu. Seperti film kuno yang hanya dipenuhi gerak tak bermakna. Tak kumengerti dunia. Tak kupahami kata orang tuaku. Tak dapat kusampaikan keinginanku. Aku terpenjara ketidak sempurnaan indera.
Keadaan yang tak pernah diduga orang tuaku. Sejak aku bergelung melengkung dalam rahim. Ayah ibu selalu berdoa untuk kebaikanku. Sebab aku adalah anak pertama yang sangat dinantikan. Ibu telah merawat kehamilannya dengan benar. Tak ada yang terlewat. Makanan sehat penuh gizi. Vitamin lengkap yang diresepkan bidan. Hingga jamu paling pahit pun diminum ibu. Semua demi aku. Buah hati yang begitu dirindukan. Ketika mengandungku, kuyakin ibu telah melakukan semua yang terbaik. Lalu kenapa aku terlahir begini?
Padahal begitu lama ayah ibu menantikanku. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Banyak yang telah diupayakan untuk mendapatkan keturunan. Tanpa lelah ayah ibu berusaha keras demi kehadiranku ke dunia. Tengah malam ayah ibu melantunkan doa khusus, memohon anak dari Sang Kuasa. Pagi setelah sarapan ibu rutin minum obat penyubur kandungan. Ayah berpantang makanan yang dipercaya menghambat pembuahan. Begitu sempurna semua upaya. Tapi setelah lahir, aku tak sesuai harapan. Aku bayi yang tak lengkap.
Mereka pasti kecewa dengan kekuranganku. Tapi mereka begitu tegar dengan masalahku yang tanpa pemecahan. Sabar menerima keadaanku. Tak pernah sekalipun mengeluh. Nrimo dan tak saling menyalahkan. Bukan bibit ayah yang jelek atau rahim ibu yang buruk. Keduanya justru semakin merapat kompak. Sepakat untuk mengatasi kekuranganku. Tidak dengan cara yang aneh atau tak masuk akal. Tidak pula dengan menyembunyikan kecacatanku. Berdua bahu membahu demi aku.
Setelah sekian lama bekerja keras demi kelahiranku, ayah ibu harus kembali bekerja keras untuk menaklukan  cacatku. Perjuangan yang tak putus. Panjang sepanjang hidupku selanjutnya. Bisa dibilang setiap tarikan nafasku adalah kerja keras ayah ibu. Menyulutkan api di dadaku. Agar aku memiliki semangat dan dapat tegak berdiri di atas kedua kaki. Kurang tak berarti hilang. Aku ada dan berusaha mencatatkan diri pada dunia, walau dengan segala cacatku. Itu yang terus ditanamkan ayah ibu di dalam mentalku.
Sekali lagi beribu cara dilakukan. Segala informasi yang tak mudah ditemukan pun dicari. Dokter ahli hingga pengobatan alternatif di lereng gunung didatangi. Semuanya untuk kesempurnaan inderaku. Walau tak ada cacatan pasti tentang segala daya upaya orang tuaku. Yang pasti kutahu mereka menyayangiku. Mencintaiku, sejak aku masih berupa janin tanpa ingatan dalam rendaman ketuban.
Sesungguhnya aku sendiri pun tak mau lahir dalam keadaan ini. Jujur aku pun sangat kecewa ketika sadar pada keadaanku. Namun melihat semangat ibu, kegigihan ayah menyembuhkanku. Aku pun tak mau melemah. Kutakut mereka akan lebih terluka lagi. Punya anak cacat yang cengeng pula. Sering kutahan airmata demi menyenangkan mereka. Padahal sedang sangat sedih karena menginginkan sesuatu tapi tak ada yang mengerti mauku. Aku menjadi pendiam dan sangat pasif. Kadang juga marah-marah tak karuan.
Kubanting gelas untuk mengatakan ‘tidak mau minum jus itu, aku ingin susu’. Kurobek baju baru yang ibu belikan buat menyampaikan ‘aku tak mau pakai, warnanya tak suka’. Aku pun pernah menangis seharian hanya karena menginginkan permen coklat dari warung sebelah. Aku menggerakkan tanganku dengan kacau, menunjuk-nunjuk ke luar. Tapi ayah ibu tetap tak mengerti. Aku mengamuk. Melonjak-loncak tak karuan. Membantingi barang-barang. Menggedor pintu, jendela. Menggebrak meja kursi yang sedang ibu duduki. Ibu menggeleng, ayah mengangkat bahu. Menjengkelkan! Betapa sulit menginginkan sebutir permen saja.
Sakit sekali hati  rasanya. Sulit sekali mendapat hal kecil yang bagi anak lain tinggal berucap satu kata saja. Permen! Tapi untukku memerlukan banyak energi. Menguras batin kedua orang tuaku. Aku sedih. Semua serba berbatas. Seperti berada dalam toples kaca. Tertutup rapat kedap suara. Aku melihat segalanya namun tak mendengar apa-apa. Ayah ibu hanya bisa memandang dari balik kaca. Sambil terus berusaha memahami semuanya. Kemurungan mulai melanda. Aku putus asa.
Ayah ibu tanggap dengan kondisi psikisku, setelah konsultasi dengan banyak orang. Psikolog hingga orang tua lain yang memiliki anak sepertiku. Perlahan mereka mulai menemukan cara untuk berkomunikasi. Aku diajari cara memegang pensil dan bolpoin.  Ayah menggambar kue, es krim, atau permen. Kutunjuk salah satunya. Lalu aku belajar menggambar benda-benda. Kami bergantian menggambar. Ibu memberikan pensil warna. Untuk memudahkan memilih sesuatu yang berwarna. Pilih gambar kaos merah atau kuning? Aku mengacungkan pensil merah. Esoknya ibu membelikanku t-shirtmerah dengan gambar bunga-bunga. Aku melompat kegirangan. Kali ini tak salah. Tepat seperti yang kuinginkan!
Aku mulai merasa nyaman dan tenang. Kebesaran hati dan keikhlasan ayah ibu benar-benar membuatku ingin maju. Tanpa jeda yang berarti, terus diajarkan cara paling aman untuh menempuh hidup yang berbeda ini. agar dapat kuraih kesempatan yang sama dengan anak lain yang normal. Aku mulai belajar untuk bertahan hidup dengan segala kelemahanku. Aku berdamai dengan kecacatanku.
Kukira tak seorang pun di dunia mau terlahir dalam keadaan tunarungu. Tak juga aku.
Dengan saraf telinga yang lumpuh sejak lahir. Tak bereaksi pada denting spatula yang diketuk dekat daun telinga. Lidahku menjadi bodoh. Tak mampu mengucapkan kata karena tak kudengar apa-apa. Lidah hanya menjadi alat bantu bagi mulut untuk mengunyah dan mencerap rasa tanpa bisa menyebut rasa. Asin manis hanya ada dalam pikiranku. Terkunci oleh kebisuanku.
*
Lalu tibalah suatu masa yang mengubah segalanya. Ibu pindah kerja ke luar kota. Seminggu sekali pulangnya. Ayah tugas belajar ke luar negeri. Dua tahun lamanya. Aku dititipkan pada eyang. Eyang kakung paling perhatian padaku. Aku cucu yang selalu di istimewakan. Dari beliaulah aku belajar menangkap makna kata. Eyanglah yang dengan setia mengajari teknik baru berkomunikasi. Beliau sangat kreatif. Banyak media yang digunakan. Selembar koran bekas pun bisa menjadi alat. Eyang memperlihatkan gambar-gambar di atasnya. Aku tak perlu menggambar sendiri. Tinggal tunjuk saja. Lebih cepat dan praktis. Apalagi semakin besar makin banyak keinginanku.
Tak cuma permen, es krim atau roti. Yang mudah digambar. Aku menginginkan apel, jeruk, atau jambu. Semuanya berbentuk bulat. Gambarnya hampir sama. Sering menimbulkan salah paham.  Pernah kugambar semangka,  eyang putri membelikan melon. Aku tak menangis tapi tak juga mau memakannya. Eyang kakung mengguntingi gambar-gambar dari koran atau majalah lalu menempelkannya di buku tulis. Kubawa buku itu ke mana-mana. Supaya mudah  menunjukkan keinginanku.
Setelah cukup umur aku masuk SLB. Diajari membaca, menulis dan berbicara. Betapa terkejutnya aku ketika kusentuh tenggorokan bu guru. Lehernya bergetar ketika membuka mulut. Aku tak pernah tahu bahwa leher bisa bergetar seperti itu ketika membuka mulut. Dan aku pun menirukannya. Berulang-ulang hingga ia mengacungkan jempol pertanda benar dan tepat. Vokal pertama yang lancar kuucap adalah “ee…”.
“Je-ruk.” Di tunjuk gambar jeruk di dalam  buku di hadapanku. Mulutku mengikuti gerak mulutnya dari cermin di hadapan kami berdua. Tak lupa menyentuhkan tanganku di lehernya untuk merasakan resonansi yang pas. Aku juga belajar bahasa isyarat. Secara khusus eyang kakung ikut mempelajarinya, agar mudah berkomunikasi denganku.
Di rumah eyang memberi buku-buku. Setiap menjelang tidur eyang membuka-buka buku penuh gambar warna-warni di tempat tidur. Menjelaskan padaku dengan bahasa isyarat. Mengajakku membaca dongeng-dongeng indah sampai selesai. Tak ada satu kalimat terlewat. Kisah-kisah yang kemudian berlanjut menjadi mimpi indah dalam tidurku.
Ulang tahunku yang kesepuluh bertepatan dengan kepulangan ayah dari luar negeri. Ia sudah selesai kuliah. Gelar di belakang namanya bertambah. Oh, bangganya aku pada ayah. Selain oleh-oleh, ayah memberiku hadiah sebuah benda yang asing. Warnanya merah mengkilap, warna yang kusuka. Seperti buku benda itu bisa dibuka di tengah. Ada banyak tombol penuh huruf di dalamnya. Ayah menancapkan kabelnya lalu benda itu pun menyala. Pada  layar muncul gambar kartun lucu yang kusuka. Aku tersenyum senang. Lalu ayah memencet beberapa tombol.
“Selamat ulang tahun Fiezza.” Benda itu berbicara padaku. Layarnya berkata-kata. Aku diam sesaat. Ayah membimbing jari-jariku memencet huruf-huruf.
“Nama saya Fiezza.” Itulah kalimat pertama yang kutuliskan. Ibu memelukku. Eyang kakung mencium keningku. Eyang putri bersorak senang. Hari itu hari terindah untukku.
“Hari ini Fiezza ulang tahun, ayah kasih hadiah laptop. Supaya Fiezza bisa menulis apa saja yang ingin disampaikan” Begitu tulisan yang tertera di layar. Aku mulai mengerti. Benda ini akan menjadi jembatan  untuk berkomunikasi. Setelah itu ayah mengajariku fungsi-fungsi laptop. Aku senang sekali. Aku menuliskan banyak kata. Sudah lama aku ingin bercerita. Mengomentari rambut nenek misalnya. Atau berkeluh ketika diganggu teman.
Tak hanya itu saja hadiah yang kuterima. Ada benda lain yang berkabel juga, yang menjadi hadiah utama. Dibungkus dalam kotak kecil berpita. Sama seperti sebelumnya aku pun asing dengan alat itu. Ibu memasukkan ujungnya ke telinga kiriku. Ujung lain kira kira sebesar kotak korek api disematkan di bajuku. Lalu eyang kakung menempelkan headphone pada telinga yang dipasangi alat. Apa yang kurasakan setelah itu tak kan pernah kulupakan selamanya. Ini adalah sejarah penting dalam hidupku.
“Selamat ulang tahun Fiezzaaa…!” lalu ada gelak tawa. Oh seperti itukah suara tawa? Saking terkejutnyaheadphone sampai jatuh kutepis. Aku kaget ketika pertama kali mendengar suara. Aku menatap ayah ibu dengan bingung.
“Itu Mbak Indah dan Dik Dini. Sepupumu di Lampung.” Ayah menjelaskan lewat laptop. Setelah itu aku merasa gendang telingaku berdengung. Banyak suara yang masuk tiba-tiba. Kulepas alat itu. Sepi seketika. Kupasang lagi. Riuh berikutnya. Aku menatap ayah.
“Panggil Fiezza.” Kataku. Bisa kudengar suaraku sendiri.
“Fiezza sayang.” Sambil dielus kepalaku. Oh seperti itukah suara panggilan ayah. Ini kali pertama setelah satu dasa warsa. Panggilan ayah yang hanya bisa kulihat dalam gerak bibir dan senyumnya. Lengkap kumengerti. Lembutnya sampai ke dalam hati. Bagaimana dengan ibu? Eyang kakung, dan eyang putri? Satu persatu kuminta mereka berbicara. Apa saja. Aku sangat ingin tahu suara mereka.
Betapa merdu nyanyian ibu ketika mandi. Aku sering ikut menyanyi bila kebetulan lewat kamar mandi. Lucu sekali suara batuk eyang kakung. Betapa cerewetnya nenek menawar bayam pada tukang sayur. Televisi, radio, bahkan kompor gas menjadi bernyawa. Semua berbicara. Bisa kudengar kini desis api yang menyembur dari kompor menyala. Dunia tak lagi sunyi. Debur ombak, hujan, riuh angin menjadi biasa di telingaku. Daya tangkap dan pemahamanku meningkat seiring runtuhnya dinding kaca yang memenjarakanku dalam kebisuan kata-kata.
Sejak itu laptop menjadi sahabat utamaku. Dan alat bantu pendengaran adalah  pengganti inderaku yang hilang. Banyak waktu kuhabiskan untuk bermain game atau menonton film. Internet menjadi jendela untuk membuka pikiran. Berlama-lama berselancar di dunia maya untuk menambah pengetahuan. Semuanya menjadi menyenangkan. Aku bisa asyik berjam-jam mengobrol dengan teman di ujung dunia lain. Saling bertukar cerita tentang negeri masing-masing. Membagi banyak pengalaman hidup. Mereka menyatakan salut,  ketika mereka tahu aku seorang tuna rungu.
“Excelent! You are so smart!” komentar Chaty, sahabat dari Australia. Dalam jaringan pertemanan kami. Lama-lama aku jadi bisa berbahasa Inggris. Dibimbing ayah tentunya. Pengalaman belajar di luar negeri membuat ayah lancar berbahasa Inggris. Bertambah satu  lagi  ilmuku.
Tak hanya itu yang kulakukan dengan laptopku tercinta. Kutuliskan mimpi, cita-cita, khayalan dan kenangan. Kucatat hari-hariku. Kegiatan, pendapat, pemikiran, apa saja yang bisa kutulis. Kadang aku berkisah tentang peri kecil ajaib yang hidup di semak belukar. Pernah juga tentang kesedihanku melihat padi siap panen yang terendam banjir. Ujung bulirnya mengapung lalu kemudian membusuk. Kasihan petani gagal panen menderita banyak kerugian. Bagaimana caranya makan atau menyekolahkan anak-anak mereka? Berhari-hari aku merenungkannya. Kusampaikan catatanku pada eyang kakung. Eyang senang sekali membacanya. Tekun dibaca sambil mengangguk- angguk.
Suatu hari eyang mengirimkan sebuah catatan tentang impian masa depanku, pada majalah ibu kota. Dan dimuat! Bayangkan seluruh negeri membaca tulisanku. Ayah ibu bangga padaku. Api itu telah menyala. Berkobar penuh semangat di dadaku. Telah berhasil kudobrak penjara kata-kata. Kutembus tempurung yang mengungkung pikranku. Tak pernah kudengar suara dengan sempurna tapi kumengerti tiap pertanda. Bisa kusampaikan apa pun pada dunia. Dan alam menorehkan semuanya dalam huruf-huruf penuh makna. Aku boleh terlahir tak sempurna tapi aku selalu istimewa. *
Primadita Herdiani, Siswi SMU Hidayatulloh Semarang Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar