Sabtu, 23 Juli 2016

Tangisan Bisu

Oleh Khoiriyyah Azzaharo

Gelisah ini, akankah sampai padamu jua? Atas nama arus di hulu. Demi janji tiba di hilir. Kualirkan segenap cemas dalam senyap.
*
Aku : Sungai Sepi
Telah lama aku merindu. Pada hiruk di masa lalu. Pada pikuk zaman dahulu. Jukung-jukung1 yang berlalu lalang. Kanak-kanak yang berenang. Tawa gadis mandi di batang2.
Telah suntuk aku menanti. Pada ceria dini hari. Pada tawa sore berpelangi. Bening jernih cahaya berpantulan. Riak kecil melukis kenangan.
Kemanakah semua cerita yang dahulu mereka titipkan kepadaku? Mengayuh jukung. Mencari untung. Melunta patin dan undang galah3. Melarutkan galam4, mencari berkah.
Dan pabila jernihku meluap. Hilang semua resah yang hinggap. Kualirkan segenap ke penjuru jiwa. Kubasahi hingga lenyap dahaga.
Kemanakah semua kisah yang dahulu mereka sampaikan untukku? Melintasi banua5. Mengarungi delta. Mencari nafkah di tanah jauh. Membawa rezeqi sepenuh utuh.
Kini, hanya sepi yang singgah. Canda tawa hanya mampir tak lama. Hanya sekejap sahaja.

Ia : Gadis Sepi
Dalam keheningan pagi, ia tapaki batang banyu. Tak peduli bayu yang menderu. Tak peduli dingin yang merayu. Ia selalu bersetia begitu. Mengunjungi batang banyu.
Di sana, di batang banyu, ia bermenung. Mengalirkan kenangan demi kenangan yang sepi terkurung. Terkungkung dalam jiwanya yang limbung.
Karena, hanya kenangan yang ia punya. Dan hanya kenangan yang bersetia. Tentang semua bahagia. Tentang semua cinta.
“Memang, Abang hanya punya ini. Jukung tua peninggalan orangtua Abang. Tapi, Abang yakin, rezeqi pasti akan datang. Abang akan melunta6 setiap hari di sungai. Kalau dapat ikan, Abang bisa jual di Pasar Terapung7
Ucap bersahaja itu tak pernah hilang dari kenangan. Begitu pula wajah teduh nan rupawan. Tutur kata yang tak pernah membuat kecewa. Budi pekerti yang santun jumawa.
“Iya, Bang! Ulun akur haja wan piyan8Ulun akan bersetia menanti. Hingga sungai yang menjadi saksi”
Dalam keheningan pagi. Ia lepaskan semua sepi. Dan berjuta kenangan kian terulang kembali. Canda tawa di batang banyuJukung berlarut membawa rindu. Hanya di sana, di batang banyu. Ia titipkan semua sendu.

Aku : Sungai Gelisah
Telah lama aku memendam resah. Pada rumah-rumah yang megah. Pada ilung-ilung9 dan sampah. Hitam yang menodai jernihku. Limbah yang menyingkirkan suciku.
“Usahlah berduka, Sungai! Tak kah Kau tahu? Di timur dan barat sana, semua sejuk telah tiada. Kanal, sungai dan rawa, entah kemana… Usahlah berduka, Sungai!”
Ah, jukung patai dan jukung tambangan10! Hanya kalian yang rela berkawan. Sungguh, aku pun rindu dilayari kalian. Mengangkut batubara, sayur mayur dan ikan-ikan. Membawa ceria di sepanjang aliran.
Tapi kini, kalian tertambat saja di bantaran. Tiada lagi perjalanan, sepanjang sungai kenangan.
“Orang-orang kini lebih suka lewat daratan, Sungai! Tak kah kau lihat? Di sana-sini mereka membangun jembatan. Di kanan kiri mereka membuat jalan-jalan. Agar lebih mudah mereka berkendaraan. Agar tak perlu mereka berbasah-basahan”
Ya, jukung patai… Ya, jukung tambangan
Hanya kalian yang sudi mendengarkan. Gelisahku tersebab diacuhkan. Kecewaku karena dilupakan. Lihatlah sepanjang bantaranku! Mereka dirikan rumah berjuta pintu. Namun mereka menutup mata akan hadirku. Gedung-gedung memunggungiku. Jalanan beraspal telah menggantikan tugasku. Mereka lebarkan semua jalan. Dengan menutup aliran-aliran. Dan kini, hanya sesak sempit kurasakan.
“Hey, Sungai! Lihatlah! Siapakah gerangan dara bungas11 di ujung sana? Mengapakah sedari tadi  ia bermenung saja?”
Ah ya, jukung patai! Aku pun memendam tanya. Telah lama ia di sana. Tak henti memandangiku hingga senja. Sungguh bersetia.
“Oh, Sungai… Mengapakah wajahnya bermuram durja?”
Entahlah, jukung tambangan… Tiada kutahu rahasia yang berkelindan. Kerap terdengar dari mulutnya, tangis dan rintihan. Duhai… sungguh memilukan!
Walau sejujurnya, duhai jukung patai… duhai jukung tambangan… aku sungguh berbahagia akan kehadirannya. Karena hanya ia satu-satunya yang bersetia.

Ia : Gadis Gelisah
Bisik gemerisik selalu menyertai hari-harinya. Pandang iba kerap ia terima. Namun ia tetap bersetia. Bermenung di batang banyu. Melarutkan semua rindu.
“Lihat, itu Si Rasyidah! Belum sembuh jua. Padahal sudah lebih dari setahun Bang Herli tiada. Kasihan… orangtuanya tak berduit, untuk membawanya ke rumah sakit”
“Iya, mambari maras banar lah12.. Kekasihnya sudah tenang di sisi-Nya. Tapi ia malah sengsara”
“Ya.. begitulah cinta. Bila dikejar, ia menghilang. Bila dilepas, eh.. malah ia yang datang”
Bisik gemerisik tak henti menyertai hari-harinya. Pandang iba tak memudar di tiap netra. Dan ia tetap saja bersetia. Berziarah ke batang banyu. Berharap berjumpa kekasih yang selalu ditunggu.
“Rasyidah… Bulik pang, nak! Ari sanja hudah13! Tak baik anak gadis sendirian di sungai di batang banyu
Hanya bisik ini yang mampu menunda perihnya. Bisik perempuan paruh baya, di mana ia pernah bertumbuh di rahimnya.
“Rasyidah.. Uma’ minta maaf kalau ada salah.. Uma’ tahu, ikam karindangan wan Herli14.  Tapi sadarlah, Nak… Herli sudah di sisi-Nya. Ia sudah tenang, Nak…”
Hanya bisik ini yang sanggup menunda sepinya. Bisik pengingat akan hari di mana hantinya pernah nelangsa. Pada hari itu, kabar datang kesiar-kesiur. Tentang lelaki yang tak henti hadir di dalam tidur.
“Ada jukung karam! Ada jukung karam! Ampat ikung mati lamas15. Semua barang hilang, larut di sungai!”
Seorang bujang memekik membawa berita. Tiada sesiapa pun bersuka cita. Seluruh warga kampung sungai terpana. Begitu pula ia. Hatinya kelabu tiada terkira.
Hari itu, jukung-jukung tak mampu berkisah tersebab malapetaka. Pengayuh-pengayuh16 tak lagi tergenggam tersua. Hanya wajah-wajah pias. Pembawa kabar na-as.
Dalam sekejap saja. Ratapannya menyayat sukma. Di sisi jasad yang kaku, ia tersedu. Tangisnya terhempas ke langit biru. Dan sejak hari itu, ia menggugat batang banyu. Meski bisu. Meski pilu. Tak henti ia layangkan gugatannya itu.

Aku : Sungai Nestapa
Telah lama aku mencemburu. Pada sungai-sungai besar di hulu. Yang selalu dipuja dan dirindu. Meski kutahu. Mereka pun tak seramai dahulu. Namun siring-siring17 mereka, percikan mereka, selalu menghiasi bening netra.
Dan manusia, tak kah mereka tolehkan muka? Lihatlah, sumbing bibirku dilumat ganas peradaban dan derita18Tataplah, lebam pipiku ditampar keras waktu dan nestapa.
Ya… Akulah sungai kecil di sudut kota. Terlupa. Tersandera. Namun, kini kubahagia. Dara bungas itu masih bersetia. Kan kurayu kubujuk ia. Tuk mengarungiku, menyelamiku, mencintaiku, lebih… dan lebih lagi.. Kan kuluapkan diri. Tuk menyambut cintanya yang suci.
Mari! Marilah dara bungas! Ikutlah bersama aliranku. Leburlah dukamu dan dukaku. Mari menari di aliran deras. Usah hiraukan pekik mereka itu. Sudah acuhkan tangis mereka itu.

Ia : Gadis Nestapa
Dalam keremangan senja, ia jejaki batang banyu. Tiada yang tahu. Hatinya tak henti mengasah pilu. Pada sekawanan ilung yang terlarut di permukaan. Ingin ia titipkan pesan. Betapa rindu tak rela beranjak dari ingatan. Betapa kelabu tak sudi bertolak dari kenangan.
“Bang Herli, ulun dandaman banar wan piyan nah19…Kenapa piyan belum jua bertandang ke rumah?”
Dipandanginya aliran sungai keruh penuh ilung dan sampah. Perlahan diulurkannya tapak menjejak batang berlumut rendah. Seketika sungai meluap meninggi. Berdebur bergelombang ke sana ke mari. Menyusup ke jamban-jamban batang banyu. Menelusup ke beranda-beranda rumah kayu.
“Bang Herli, ulun umpat piyan ja lah20… Tungguilah, Bang! Sebentar lagi, ulun menyusul”
Byur!!
Tiada disangka.. debur sungai menyapu seluruh batang banyu. Seiring limbung raganya menyongsong luapan tirta kelabu. Sekejap, kedamaian lembut merengkuhnya. Kenestapaan pun berlalu sirna.

Aku : Sungai Murka
Dan derita ini, akhirnya terbagi jua. Atas nama perih di hulu. Demi tangis luka di hilir. Kudeburkan seluruh gelombang kecewa. Kehempaskan semua murka.
Terimakasih untukmu duhai, Dara… Hanya kau-lah sahabatku yang bersetia. Mari kudekap dikau dalam cita. Mari kita berpesta.

Epilog
Jerit seorang perempuan paruh baya, mengoyak gerimis senja di tepi Sungai Kuin. Tak ia peduli pada tubuh kuyupnya. Tak ia acuh pada tatapan berpasang mata.
Di dekapnya erat seorang gadis nestapa. Yang sesaat lalu terbawa hanyut gelombang sungai. Tiada lagi nyawa dan raga yang bersatu. Tersisa jasad membujur kaku.
“Rasyidaaaahh!!! Umaayy…. Anakku Rasyidah….!! Kenapa ikam tinggalkan Uma’?!
Berpasang tatap mata tiada percaya. Sungai mereka tlah meminta nyawa. Apakah ini pertanda? Yang mereka tahu, inilah petaka.
Di saat yang sama. Di alun-alun kota. Sungai Martapura gemerlapan penuh warna. Jernih bersih diapit dua raksasa jalan raya. Tiada sepi. Tiada sunyi. Bahagia selalu dikunjungi.
Namun, pada detik yang sama. Di sudut barat dan timur kota. Sungai-sungai meraung menangis dalam bisu. Sebuah mobil mewah berplat hitam terjerembab melaju. Terjun bebas ke Sungai Bilu. Seorang lelaki bertaruh nyawa. Warung rombong21-nya tergelincir di bantaran Sungai Rawa-rawa. Dan sebuahklotok terendam berkubangan. Pada lumpur dangkal Sungai Pelambuan.
Dalam bisu, sungai-sungai meringis. Dalam bisu sungai-sungai menangis.*

Dedicated for “The Town of Thousand Rivers : Banjarmasin”

Keterangan kosakata Bahasa Banjar
  1. Jukung :  Perahu/sampan yang terbuat dari kayu
  2. Batang :  Dermaga kecil tempat Mandi-Cuci-Kakus yang terbuat dari kayu/papan yang diapungkan di atas sungai (kadang disebut juga batang banyu)
  3. Patin (Latin : pangasius pangasius) sejenis ikan air tawar, endemik asli Kalimantan Selatan. Undanggalah (Latin : macrobanchium rosenbergii denon) : sejenis udang air tawar berukuran besar.
  4. Ulin (Latin eusideroxylon zwageri) : Sejenis pohon berdiameter kecil namun kuat dan tahan lama. Biasa digunakan sebagai pondasi bangunan.
  5. Banua : Kampung halaman
  6. Melunta : Mencari ikan dengan memasang perangkap/bubu
  7. Pasar terapung :  pasar di atas air sungai. Para pedagang dan pembeli bertransaksi dari atas jukung atau klotok  (kapal bermotor). Ada dua pasar terapung di Kalimantan Selatan : Pasar Terapung Muara Kuin dan Pasar Terapung Lok Baintan.
  8. Ulun akur haja wan piyan : Saya sepakat saja dengan Anda
  9. Ilung (Latin : eichhornia crassipes) :  Eceng gondok
  10. Jukung patai : perahu kecil yang dahulu biasa digunakan untuk mencari ikan di sungai dan rawa, dengan lantai berupa papan atau bambu yang ditutupkan pada lengkungan bawah perahu. Sehingga jukung ini dapat dengan mudah diduduki, sementara ruang di bawah papan digunakan untuk menyimpan atau mengurung ikan-ikan hasil tangkapan.
Jukung tambangan : perahu besar yang dahulu biasa digunakan mengangkut hasil tambang, terutama batu bara dan timah, melalui sungai-sungai.
  1. Bungas : cantik
  2. Mambari maras banar lah : Sungguh memprihatinkan, ya!
  3. Bulik pang, nak! Ari sanja hudah : Pulanglah, nak! Hari sudah senja!
  4. Ikam karindangan wan Herli : Kau rindu pada Herli
  5. Ampat ikung mati lamas : Empat orang mati lemas (ket : mati karena kehabisan oksigen di dalam air)
  6. Pengayuh : Alat dayung perahu
  7. Siring : Bantaran sungai yang telah rapi
  8. Kalimat ini diilhami dari Puisi “Memori Jejak Sungai” karya Pak Bram Lesmana
  9. Ulun dandaman banar wan piyan nah : Saya teramat rindu padamu
  10. Ulun umpat piyan ja lah… : Saya turut dirimu ya…
  11. Warung kecil serupa gerobak beroda yang dapat dipindahkan kesana kemari khas pedagang kaki lima di Banjarmasin dan sekitarnya.
Keterangan tambahan : Sungai Bilu, Sungai Rawa-rawa, Sungai Pelambuan adalah beberapa nama sungai-sungai yang mengaliri Kota Banjarmasin
Khoriyyah Azzahro, tinggal di Banjarmasin. Gadis berdarah Banjar ini berprofesi  sebagai guru bahasa Inggris.  Selain menulis cerita pendek, ia juga menulis puisi. Ciri khas karyanya mengusung kearifan budaya lokal dan menyuarakan kerusakan  lingkungan hidup di mana ia tinggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar