Sabtu, 23 Juli 2016

Orang Gila dan Sajak-Sajaknya

Oleh Mashdar Zainal
Sajak Berkelambu
 Seperti para penyair, aku selalu menyimpan kegilaan itu dengan baik. Kuselipkan rapat-rapat dalam tiap kata yang telah kususun. Kata-kata yang tak akan mudah kau cerna. Kata-kata yang tak akan pernah kau temukan dalam kamus manapun. Kata-kata yang hanya lahir dan mati dalam kepalaku seorang.
Percayalah! Kau takkan mampu memaknainya sebelum kau melewati sebuah pintu. Pintu di mana kau harus rela melepaskan segalanya. Melepaskan rasa malu lewat tawa-tawa yang lebar. Membenamkan pedih-perih dalam iris tangis yang panjang. Hingga ketika suaramu berhenti, akan kau dapati dunia telah berbeda.
Ah, sepertinya aku meladenimu dengan sajak lagi, ya? Maaf.  Aku hanya ingin menjawab dahimu yang berkerut-kerut. Meski kau diam, aku tahu, kalau kau tak pernah berhenti bertanya: apa yang sebenarnya ada dalam kepalamu? Ya, suatu saat nanti kau akan tahu.
Memang, dalam banyak hal kita selalu berseberangan. Kita tak pernah mau untuk—sesekali—menjadi ekor satu sama lain. Aku tak pernah mau mengaku bahwa sajak-sajak yang kurangkai itu, lahir semata darimu. Betapa sulit untuk mengatakan bahwa kau sangat berarti, setidaknya untuk keberlangsungan sajak-sajakku. Tapi, inilah kita, yang selalu mengangkat harga diri tinggi-tinggi hingga ketika kita dijatuhkan oleh perpisahan, rasa sakit itu mengabadi, menyebabkan kita lumpuh dan amnesia.
Ya, kita masih seperti bercakap di balik kelambu. Kau tak pernah tahu, ketika aku menyuruhmu pergi menemuinya, aku menangis. Aku pun tak tahu, wajahmu terluka atau tidak ketika dengan girang, kulemparkan sebuah sajak tentang keputusan (atau keputus asaan?). Yang pasti, sampai kini, semua itu masih tersimpan rapi. Dalam kepalaku—hanya dalam kepalaku.

Sajak Percakapan
Pernah, secara terang-terangan, kau melemparkan pernyataan pedas di depan mukaku. Katamu, orang-orang gila yang menggelosor dan telanjang di jalan-jalan itu, tak pernah memiliki sesuatu dalam kepala mereka. Katamu, kepala mereka hanyalah bilik kosong yang penuh dengan warna hitam. Ah, kau ada-ada saja. Sebagai perangkai sajak yang fanatik, maka maaf jika kemudian aku mengataimu sok tahu.
“Kalau begitu, apa yang ada dalam kepala mereka?” kau pun tak terima.
“Kata-kata.” Tandasku.
“Iya, kata-kata yang tak ada artinya. Di mana-mana mereka bilang hahahaha…. Kalau ada angin menerbangkan sesobek kertas, mereka akan bertepuk tangan, lalu  hihihihi…. Kalau ada ada kodok mati terlindas truk di tengan jalan, wajah mereka akan tertekuk lalu huhuhuhu…”
“Hei, jangan salah, hahahaha itu sajak. Hihihi… itu puisi. Huhuhu… itu lagu.”
“Kalau begitu, kau menyamakan penyair dengan orang gila, dong?”
“Justru orang gila itu lebih penyair daripada penyair. Orang gila itu guru besarnya para penyair.”
“Huh! Aneh, orang gila kok guru besarnya penyair!?”
“Memangnya, kau pikir karena apa mereka gila?”
“Ya, mana kutahu. Aku tak pernah gila.”
“Kalau begitu kuberi tahu… orang-orang gila itu, gila karena sajak-sajak yang selalu menletup dalam kepala mereka. Sajak-sajak yang selalu berdebat, seperti aku dan kau sekarang ini. Suka berdebat. Selalu berdebat. Dan akan terus berdebat.”
“Tapi kita kan bukan sajak. Kita manusia, yang merangkai sajak itu sendiri.”
“Orang gila kan juga manusia.”
“Jadi, orang gila bisa merangkai sajak?”
“Bukan hanya bisa. Ketika mereka memutuskan untuk tertawa hahahaha… mereka telah bersajak. Barangkali mengungkapkan kegirangan, atau kebahagiaan. Bisa saja, kan?”
“Bagaimana kalau mereka sedang sedih? Bersajak juga?”
“Lebih gila lagi ketika mereka bersedih. Huhuhuhu… dari sana mereka menguapkan tangisan. Tangisan yang sangat bening maknanya.”
“Ei, bagaimana kau tahu semua tentang orang gila?”
“………………”



Sajak Perdebatan
Kita tak akan bertemu kecuali ada hal-hal yang perlu kita perdebatkan. Kau terus mengajakku berdebat, meski jelas-jelas bibirmu mengering oleh sajak-sajak yang kulafaskan. Anehnya, aku pun tak pernah mau berhenti meladenimu. Ketika kita berdebat. Kita seperti dua orang yang sedang bercinta. Tak pernah mau melepaskan satu sama lain. Saling terpaut, saling memagut, saling menguatkan tanda-tanda: bahwa cinta itu ada.
“Bagaimana?” kau bertanya.
“Apanya yang bagaimana?” jawabku kik-kuk.
“Jadi, akan kau biarkan orang lain merangkai sajak kematian untukku?”
“Dia calon imammu, bukan algojo. Dan dia tak akan merangkai sajak kematian untukmu.”
“Tetap saja. Dia takkan pernah sepertimu.”
“Maksudmu?”
“Maksudku….” Suaramu tenggelam.
“Lalu, maumu, aku harus bagaimana?”
“Tidak bisakah kau ciptakan sajak-sajak yang agak panjang untukku, supaya aku bisa mendebatmu. Hingga tak seorang pun bisa menghentikan perdebatan kita. Hingga kedua bapak-ibukku sadar, bahwa hanya kau yang bisa merangkaikan sajak untukku. Hanya kau yang bisa kuajak bicara dan berdebat. Dari hati ke hati. Dari mati ke mati.”
“Memangnya kenapa kita harus selalu berdebat?”
“Memangnya apa yang membuat kita bisa bersama selama ini?”
“Sudah! Sekarang, mari kita memperdebatkan tentang kapan perdebatan kita harus dihentikan.”
“Kalau begitu, ciptakan saja satu sajak terakhir untukku, dan aku akan segera pergi.” katamu menegang, seperti anak-anak yang merajuk minta mainan.
“Akan kubuatkan!”
Dan aku telah memutuskan perdebatan (atau percintaan?) kita berakhir sampai di sini. Kita tak ubahnya dua kutub yang hidup sepasang tanpa pernah bisa menyatu. Cukuplah kita cecap manis dalam kegamangan yang asyik. Dalam kata-kata yang berloncatan seperti dua lumba-lumba di mulut kita. Dalam degupan yang bersikejar di balik rahasia kita. Aku tahu aku akan menyesal, tapi aku tak akan memperpanjang penyesalan ini. Aku masih bisa membuat sajak-sajak tanpamu, meski semuanya elegi—hanya elegi.

Sajak di Seberang Pintu
Kau bergamit jari dengannya dan berangkat berdua ke atas singgasana. Detik itu aku hadir sebagai undangan yang tak diinginkan. Dengan mata berkilat-kilat kau memintaku membacakan sebait-dua bait sajak persembahan dari seorang teman. Dengan suara sepat aku berdeklamasi, seperti penyendiri yang enggan mendatangi mati. Selepas pesta, baru kurasakan. Dadaku telah menjadi kosong. Kosong melompong. Hatiku sesak berdera-derak. Telingaku panas bagai dijerang bara. Tapi, di kepalaku, jutaan huruf merajalela. Berdesak-desakan ingin segera kumuntahkan.
Sejak itu—sejak kau jadi ratu bagi rajamu—kita tak pernah lagi berdebat. Dan aku merasa kesepian—sangat kesepian. Maka seperti yang kukatakan, aku mulai mengetuk pintu itu, dan memasukinya. Pintu di mana aku harus rela melepaskan segalanya. Melepaskan rasa malu lewat tawa-tawa yang lepas. Membenamkan pedih-perih dalam tangis yang panjang. Hingga ketika suaraku berhenti akan kudapati dunia telah berbeda.
Di balik pintu itu, semua memang berbeda—andai kau dapat melihat. Aku seperti terbang oleh sajak-sajakku sendiri. Di balik pintu itu ada sebuah celah kecil, sekecil lubang kunci. Diam-diam aku selalu mengintipmu dari celah itu. Dengan mata yang selalu merah. Sebenarnya aku ingin menyampaikan beberapa hal padamu—barangkali kerinduan. Tapi aku tak bisa. Karena, dunia kita sudah mulai berbeda—jauh berbeda.

Sajak di Mana-mana
Kau takkan percaya! Di balik pintu itu ada sebuah dunia seperti di wonderland. Di sana ada taman, sungai kecil, istana, lautan rumput, pohon-pohon raksasa, telaga, juga hutan belantara. Selepas membebaskanmu dari sajak-sajak dan perdebatan, aku memasuki pintu itu, dan kini aku merasa lega. Lepas. Meski ada yang kosong.
Sejak kita tak lagi bertemu. Aku tak perlu lagi bersusah payah mempresentasikan sajak-sajakku di hadapanmu. Aku cukup memuntahkannya di mana saja, dan tak seorangpun akan peduli atau memahaminya. Bahkan mungkin dirimu. Cukuplah kau jadi ibu dari anak-anakmu, dan aku akan menjadi bapak bagi sajak-sajakku yang piatu.
Terkadang, secara terang-terangan aku menertawakan kelucuanku sendiri. Akulah lelaki yang bisa melahirkan anak-anak bernama sajak, di mana saja, kapan saja, hampir setiap detik. Dan dengan tawa-tawa yang lepas—atau terkadang tangis, aku menelantarkan mereka di mana-mana: di trotoar-trotoar, di tempat sampah, di pasar-pasar, di alun-alun, di got-got yang becek, bahkan di lubang kloset. Dan tak seorang pun akan sudi memungutnya.
“Gluckgggggllllllluuuuuccccccckkkkkkggggggg……”
“Bicara apa dia?”
“Entahlah! Nggak penting banget.”
Lihatlah! Tak seorangpun akan memahaminya. Tentu saja. Sajak itu hanya lahir dan mati dalam kepalaku sendiri. Sajak-sajak yang dulu sempat mengenakan gaun paling rapi untuk kita ajak ke pesta perdebatan. Pesta percintaan. Dulu, usai sebuah perdebatan, kita selalu membebaskan satu sajak. Kita menyematkan sayap dan menerbangkannya ke langit lepas. Ya, itulah riwayat sajak-sajakku sebelum ia menjadi piatu.
Kini, lihatlah! Aku memuntahkannya di mana saja. Kubiarkan ia mengembara, menemui ajalnya sendiri, dan kembali ke rahim rahasia yang ada dalam kepalaku yang penuh palung.
“Brshbbbbbbbbrrrrrrrrrsssssssssshhhhhhhhhhhh…..”
“Dia bicara atau menggumam?”
“Mungkin menyanyi.”
“Breethbbbbbbbbrrrrrrrrrrreeeeeeeeeettttttttttttthhhhhhhhh..…..”
“Hahaha… Breeeeeet! Kayak suara kentut!”
“Hush! Jangan  mentertawakan orang gila! Nanti ketularan.”
“Trsntttttttttttttttttrrrrrrrrrsssssssrrrrrrrrrssssssssssssssssssssssnnnnnnnnnnnnn………”
“Tunggu, tunggu! Aku penasaran. Dia seperti berkata sesuatu.”
“Ah, orang gila kok diladenin. Orang gila ya begitu. Ayo! Nanti ketularan loh!”




Sajak Pengakuan
Barangkali kau sudah lupa pada apa-apa yang aku tanyakan dan aku nyatakan. Tapi aku selalu ingat, setiap kata yang menyembur dari lidahmu. Bahkan aku masih ingat dengan jelas pertanyaanmu waktu itu, “Ei, bagaimana kau tahu semua tentang orang gila?”
Kini, sebelum aku tersesat dalam pintu ini, dan tak pernah bisa kembali, aku punya sekerikil rahasia yang ingin kuselipkan ke telingamu. Rahasia tentang seseorang yang dulu pernah sangat dekat denganmu. Seseorang yang selalu mengajakmu memperdebatkan sajak-sajak. Seseorang yang kaulupakan dan kemudian menjadi bulan-bulanan sepi. Seseorang yang pada akhirnya mendatangi sebuah pintu dan merelakan dirinya hilang.
Tapi tidak benar-benar hilang. Lihatlah orang itu! Ia sering berseliweran di dekat rumahmu. Dengan rambut gimbal dan wajah coreng-moreng. Kini, selembar pakaian yang ia kenakan hanya segumpal akal yang kian hari kian pikun. Ia telanjang dalam rahasia-rahasia yang jenaka. Ia berjalan kesana-kemari tak tentu arah, dengan sajak-sajak yang terus meleleh dari sudut bibirnya, sajak-sajak yang berceceran di sembarang tempat. Hingga ketika anak-anakmu berpapasan dengannya, anak-anakmu akan berlari ketakutan sambil bersorak, “Orang gilaaa! Orang gilaaa!” *

Malang, 2013

Mashdar Zainal, seorang guru SD Islam di Malang, merupakan peserta setia LMCR Rohto Mentholatum Golden Award. Ia mengirimkan naskah pertamanya pada LMCR tahun ke 2, berjudul Wajah Seorang lelaki - keluar sebagai Pemenang Karya Favorit. Tahun-tahun berikutnya karyanya selalu dalam jajaran tiga besar Pemenang LMCR. Perkembang lainnya, karya-karyanya mulai dimuat di berbagai media massa terbitan Ibukota maupun daerah. Beberapa karyanya  terpilih sebagai cerpen terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar